Intisari-Online.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memanggilLukas Enembe, tersangka kasus dugaan korupsi, ke Jakarta.
Namun hingga kini,Lukas Enembe tak kunjung datang ke Jakarta untuk memenuhi panggilan KPK.
Ada beberapa alasan mengapa Gubernur Papua itu tidak datang.
Pertama,Lukas Enembesempatdilaporkan sakit, namunrumahnya malah dijaga massa.
Lalupengacaranya meminta KPK mengizinkan Lukas Enembe ke luar negeri. Namun ditolak.
Kini, pengacaranya malah meminta Lukas Enembe diperiksa secara adat Papua atau menggunakan hukum adat.
Alasannya karena Lukas Enembe telah ditetapkan sebagai kepala suku besar oleh dewan adat Papua yang terdiri dari 7 suku pada8 Oktober 2022 lalu.
KataAloysius Renwarin,salah satu kuasa hukum Enembe, permintaan tersebut diajukan oleh masyarakat adat Papua.
“Berarti semua urusan akan dialihkan kepada adat yang mengambil sesuai hukum adat yang berlaku di tanah Papua,” terangAloysius Renwarin.
Akan tetapi permintaanAloysius Renwarin mendapat kritik tajam dariIndonesia Corruption Watch (ICW).
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana malah merasa pengacaraLukas Enembe harusmembeli buku hukum pidana.
Alasannya agar dia lebih memahamialur penanganan suatu perkara pidana.
Kurnia menjelaskan bahwa dalamPasal 109 ayat (2) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidikan hanya bisa dihentikan karena situasi tertentu.
Situasi tertentu yang dimaksud salah satunya adalah tidak cukup bukti.
Atau dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di mana penyelidikan bisa diberhentikan jika kasus tidak selesai dalam dua tahun.
Dari KUHAPdan UU KPK itu tidakmenyatakan suatu kasus pidana bisa dihentikan karena berkaitan dengan adat.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri juga menjelaskan hal serupa.
Katanya hukum adat memang diakui dalam kasus kejahatan. Namun dalam kasus kejahatan seperti korupsi, hukum yang digunakan adalah hukum secara nasional.
"Hukum adat bisamemberikan sanksi moral atau adat kepada pelaku tindak kejahatan," terang Ali.
"Namun hal tersebuttentu tidak berpengaruh pada proses penegakan hukum positif sesuai UU yang berlaku."
Sependapat dengan Kurnia dan Ali,Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengungkapkan bahwa dugaan korupsi yang menjerat Enembe itu tidak bisa diserahkan dalam hukum adat.
Ini karena dalam KUHP,korupsi merupakan kasus yang diatur secara khusus.
Jadi, semua itu tidak terikat apakah dia seorangKepala Suku Besar atau tidak. Sebab kasus yang menjerat Enembe adalah perkara umum KUHP.
Apalagi KPK punya standaroperasional prosedur (SOP) sendiri yang didasarkan padaundang-undang yang berlaku.