Intisari-Online.com - Sikap Presiden Joko soal eksekusi mati berpotensi menimbulkan ketegangan diplomasi yang lebih kompleks. Indonesia bisa kehilangan posisi tawar saat berupaya menyelamatkan warga negara Indonesia yang menghadapi persoalan hukuman mati di negara lain.
"Kebanyakan terpidana mati adalah warga negara asing. Ini sudah menjadi ketegangan diplomasi di dunia internasional," ujar pengajar Universitas Paramadina Atnike Sigiro dalam diskusi yang diadakan KontraS di Anomali Cafe, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (7/3/2015).
Ketegangan itu, kata dia, sudah terlihat dalam relasi Indonesia dengan Brazil dan Australia. Reputasi Jokowi dan Indonesia terancam turun di mata internasional. Indonesia juga terancam tidak dapat melindungi warganya yang terancam hukuman di negeri orang.
"Banyak buruh migran Indonesia yang jadi korban di luar negeri. Tapi dipastikan kita tak bisa berbuat apa-apa. Kita sudah kehilangan posisi tawar dalam diplomasi internasional tadi," lanjut Atnike.
Ia menyarankan presiden melakukan perbaikan sistem hukum di Indonesia untuk mencegah dampak negatif kejahatan narkoba terlebih dahulu ketimbang melaksanakan eksekusi mati para terpidananya.
"Penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia sedang terpuruk. Indonesia tidak bisa menunjukan standard hukum dan HAM yang baik dan lebih memilih jalan pintas dengan melakukan eksekusi mati," ujar Atnike.
Diberitakan bahwa Kejaksaan Agung tengah mempersiapkan eksekusi mati terpidana gelombang kedua. Sebanyak sembilan terpidana mati telah dipindahkan dari Lapas asal ke Lapas Nusakambangan. Namun, Kejaksaan Agung belum memastikan jumlah yang akan ditembak mati serta waktu eksekusinya.
(Fabian Januarius Kuwado/kompas.com)