W.R. Supratman, Wartawan yang Berjuang dengan Biolanya (2)

K. Tatik Wardayati

Penulis

W.R. Supratman, Wartawan yang Berjuang dengan Biolanya (2)
W.R. Supratman, Wartawan yang Berjuang dengan Biolanya (2)

Intisari-Online.com – Tanggal 9 Maret merupakan Hari Musik Nasional. Hari ini, pun tepat hari Senin, bertepatan dengan lahirnya komponis besar Indonesia, yaitu W.R. Supratman. Kami turunkan tulisan yang pernah dimuat di Majalah Intisari tentang W.R. Supratman, Wartawan yang Berjuang dengan Biolanya.

--

Melego pakaian, sepatu, dan arloji

Setelah ±4 bulan di Kaoem Kita, W.R. Supratman mengadu nasib ke Jakarta. Bersama Parada Harahap, ia mendirikan Biro Pers Alpena (Algemene Pers en Nieuws Agent'schap). Belum genap setahun, Alpena senin-kamis kekurangan modal. Ia pun terpaksa melego pakaian, sepatu, dan arlojinya untuk bisa menyambung hidup di Jakarta. Hanya tinggal satu setel jas-celana putih, pakaian kerja dekil, sepasang sepatu, sarung, peci, kacamata, sebuah tas kulit, dan koper pakaian.

Wage sempat bimbang memilih profesi: tetap jadi wartawan atau menggesek biola. Namun ketika Sin Po, surat kabar Cina-Melayu paling luas peredarannya, mencari seorang wartawan Melayu, ia melamar dan diterima sebagai pembantu lepas.

Gedung Pertemuan di Gang Kenari milik Mohammad Husni Thamrin (anggota Volksraad) dan Gedung IC (Indonesisch Clubgebow) Kramat 106 (kini Museum Sumpah Pemuda), Jakarta, makin sering dikunjunginya. Makin banyak pula tokoh pemuda atau pers dikenalnya.

Di antaranya, Saerun (wartawan senior yang mendorong W.R. Supratman menulis buku roman Perawan Desa (1929)--meski urung beredar karena keburu disita Belanda, Haji Agus Salim (pemimpin Surat Kabar Fajar Asia, Jakarta), dan Muhammad Tabrani (redaktur surat kabar Melayu Hindia Baru, juga tokoh Jong Java). Oleh Tabrani, ia diperkenalkan dengan Jamaluddin (Adinegoro) gelar Datuk Marajo Sutari, tokoh Jong Sumatranen Bond, Sumarto dan Suwarso dari Jong Java. Hampir tiap pemimpin pergerakan mengenalnya sebagai Publicist Melayu.

W.R. Supratmari sering memperoleh kesempatan mengikuti macam-macam pertemuan angkatan muda. Antara lain, menghadiri dan meliput Kongres Pemuda Indonesia Pertama yang berlangsung di "Gedung Setan" (sekarang PT Pharmasi) di Jl. Budi Utomo, tanggal 30 April - 2 Mei 1926. Mendengar pidato beberapa tokoh pemuda, ia sempat kagum dan terharu. Rasa itu diungkapkan kepada Tabrani:

"Mas Tabrani, saya terharu kepada semua pidato yang diungkapkan dalam Kongres Pemuda Indonesia Pertama. Teristimewa pidato Mas Tabrani dan Sumarto. Dan cita-cita satu nusa, satu bangsa yang digelari Indonesia Raya itu, saya akan buat. Dan namanya: Indonesia Raya."

Tanggal 27 - 28 Oktober 1928 Wage meliput Kongres Pemuda Indonesia Kedua, yang berlangsung di tiga tempat/yakni Gedung KJB (Katholieke Jongelingen Bond), Gedung Oost Java Bioscoop, dan Gedung IC (Indonesisch Clubgebouw), Kramat 106. Pada 4 Juli 1927 ia hadir meliput peristiwa berdirinya Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Bahkan ia sempat meliput lahirnya perkumpulan Indonesia Muda, pada 31 Desember 1930, pkl. 00.00, di Surakarta. Yang kemudian mengilhami terciptanya lagu Di Timur Matahari, pada awal 1931.

Bersama wartawan lain diundang secara khusus meninjau Kongres Ketiga Indonesia Muda, tanggal 28 Desember 1932 – 2 Januari 1933 di Gedung Nasional Indonesia, Surabaya. Februari 1933, ia berusaha memperoleh keterangan rinci tentang kasus De Zeven Provincien. Dua puluh tiga orang kelasi pribumi kapal perang tersebut protes atas perlakuan diskriminatif menyangkut gaji, jaminan sosial, dll. Mereka menguasai kapal itu dan tewas dibom pesawat Belanda.

Agustus 1933, ia menulis berita penangkapan Ir. Soekarno pada 30 Juli 1933, yang kemudian diasingkan ke Ende, Flores. Masih ada beberapa kegiatan politik lain diliputnya.

Selain kegiatan politik, ia juga meliput kegiatan sosial, peristiwa human interest, dan berita-berita ringan lain. Misalnya tentang nasib kaum buruh Pelabuhan Tanjung Priok yang terbungkuk-bungkuk memanggul karung. Bersama wartawan lain, November 1926, ia meliput peristiwa huru-hara buruh di Tanjung Priok dan pinggiran Betawi, tapi kurang berhasil karena dialangi pihak keamanan. Juga ke Pasar Ikan untuk mengorek praktek pemerasan oleh juragan perahu terhadap nelayan miskin.

Honor yang diterimanya berdasarkan berita yang termuat tidak cukup untuk hidup berdua dengan Salamah - wanita yang dikenalnya sejak akhir tahun 1926. Ia pun merangkap menjadi kolportir atau pencari iklan untuk Sin Po. Sebuah mesin ketik dapat dibelinya.

Tahun 1928 rnereka menyewa sebuah pondok milik Haji Solikhin di Kampung Rawasari. Di sana, konon, mereka menikah secara resmi di hadapan naib. Dua tahun kemudian pindah ke pondok beratap nipah, berlantai tanah milik Akhmad Tabrani, di kawasan itu juga. Dua tahun kemudian, setelah menjual Toko Buku Java miliknya, ia membeli rumah berdinding papan, beratap seng, dan berlantai semen, di daerah yang sama.

Toko Buku Java tersebut terletak di Gang Sentiong, Jakarta Pusat. Selain menjual buku dan majalah, juga ada karya-karya Ir. Soekarno berupa brosur, alat-alat kepanduan, serta hasil kerajinan, macam kopiah, sandal, dasi, sarung, dll.

Mencipta lagu perjuangan

Karena seringnya bergaul dengan pemuda pergerakan, ia tergugah untuk menciptakan lagu perjuangan. Dengan biolanya muncul hasratnya meniru Rouget de Lisle, pencipta lagu La Marseillaise pada masa Revolusi Prancis. Yang kemudian diakui sebagai lagu kebangsaan Prancis.

Terinspirasi jiwa patriotik kaum muda, di sela-sela kesibukan sebagai wartawan, ia berhasil menciptakan mars perjuangan Dari Barat Sampai ke Timoer (1926). Lagu yang konon mirip La Marseillaise ini menjadi populer di kalangan anak muda Betawi. Bahkan mampu membangkitkan semangat juang. Judulnya pun diubah menjadi Dari Sabang Sampai Merauke.

Kemudian menyusul lagu Indonesia, yang diduga konsepnya dibuat pada malam 1 Mei 1926, di pondokannya di daerah Jatinegara. Lagu yang terilhami oleh pidato para tokoh pemuda pada Kongres Pemuda Indonesia Pertama itu, konon, digubah semalam suntuk.

Untuk tidak memancing keributan dengan pihak polisi Belanda, lagu Indonesia diperdengarkan pertama kali secara instrumentalia dengan biola, yakni sebelum pembacaan putusan Kongres Pemuda Indonesia Kedua di Gedung IC, Kramat 106. Selama ±5 menit alunan biola W.R. Supratman, yang mengenakan setelah celana-jas putih, dasi kupu-kupu, peci, dan sepatu putih mengkilap, memukau para hadirin. Gemuruh tepuk tangan menyambut penampilannya. Bahkan ada yang bersuit-suit, berpekik minta diulang lagi. Di luar acara kongres, lagu Indonesia dinyanyikan oleh Dolly (15), putri Haji Agus Salim.

Tulisan ini pernah dimuat di Intisari edisi Oktober 1995, dengan judul asli W.R. Supratman Wartawan Berjuang dengan Biolanya.