Intisari-Online.com -Kebutuhan akan ruang menohok Batavia. Jalur ke timur terpaksa dibuka. Dibangunlah jalan besar pertama yang menghubungkan dua benteng besar, Batavia lama (Gunung Sahari) dan basis pertahanan tuan tanah Meester Cornelis (kini Jatinegara). Konstruksi lurus menjadi ciri khas rute yang dibangun tahun 1678 itu.
Di antara “jalan tol” Jersebut, tumbuh daerah penyangga bikinan Gubjen J.A. van den Bosch untuk mendukung pertahanan Weltevreden. Batas-batasnya berupa parit bertanggul rendah, tersebar dari Senen, Bungur Besar, Krekot, Sawah Besar, Gang Ketapang, hingga. Petojo, Tanah Abang, Kebon Sirih, dan bertemu, di Kramat Bunder. Penduduk sekitar menamai daerah penyangga itu Kemayoran, dari kata majoor, karena banyaknya barak militer dan jumlah tentara yang bolak-balik.
Kampung-kampung tua di sekitar Meester Gornelis (sopir kendaraan umum sekarang masih menyebutnya “mester”) banyak yang bernuansa etnis. Makanya tersebutlah Kampung Manggarai, Kampung Bali, Kampung Melayu, Kampung Makassar. Penghuninya ada yang betul-betul “warga baru” Batavia, ada juga kelompok etnis yang terusir dari benteng Batavia lama. “Saat itu, masalah urbanisasi sudah mengadang Batavia,” tutur Mona. Tuan tanah Jatinegara, Meester Cornelis Senen juga pendatang asal Pulau Lontor (Banda).
Di timur juga banyak kawasan berawalan “Pulo”, permukiman yang dikitari air. Ada Pulo Gadung, Pulo Gebang, Pulo Mas, dll. Gadung adalah umbi-umbian yang bisa meracuni. Rupanya, sejak dulu di Pulo Gadung sudah banyak makanan penipu perut itu.
Di antara garis lurus Senen-Jatinegara, ada kawasan tua, seperti Kwitang (identik dengan suku atau kelompok orang Cina dengan dialek tertentu), Kramat (identik dengan kuburan orang terhormat), Salemba (Mona Lohanda dan Ridwan Saidi percaya, nama itu murni rekayasa masyarakat sekitar, karena tipikal katanya sangat khas, meski maknanya belum jelas), serta Paseban dan Matraman (diduga warisan pengikut Pangeran Diponegoro).
Dari Salemba, kita bisa tembus langsung ke kawasan elite Menteng. “Menteng sebetulnya hunian ‘baru’, karena dibangun setelah jalur barat, timur, dan (sedikit) selatan dibuka. Itu nama pohon dan buah menteng yang banyak tumbuh di sana,” bilang Mona. Salah satu lokasi bersejarah di Menteng adalah kawasan tempat berdirinya Masjid Cut Meutia. Menurut Ridwan Saidi, di tempat itu dulu berdiri gedung perusahaan pengembang Kondang Dia, yang kelak populer sebagai Gondangdia.
Adanya developer itu membuat nuansa “pembangunan” sangat terasa. Orang Belanda pun menyebut kawasan itu de bouwploeg. Lama-lama, dekat pintu KA Kebon Sirih muncul pasar. Lidah lokal menyebutnya Pasar Boplo hingga kini. Dari Menteng Raya belok ke kiri akan tiba di Jl. Kebon Sirih yang langsung tembus ke Tanah Abang. Sejak masa VOC, titik pertemuan antarkawasan itu sudah berkembang pesat.
Daerah tanah Abang dikenal sebagai kawasan hijau penghasil rempah-rempah, palawija, dan gula. Itu tercermin dari nama-nama kampungnya, ada Kebon Sirih, Kebon Kacang, Kebon Jahe, Kebon Melati. Soal asal-usul nama Tanah Abang, ada dua versi yang sama kuat.
Pertama, diberikan para pendatang yang sadar bahwa kawasan itu ada penghuni aslinya, biasa dipanggil “Abang”. Sedangkan versi kedua, diberikan oleh pendatang asal Jawa yang melihat tanah tempat ini kemerahan (abang = merah). Namun, teori kedua ini, menurut guru besar FSUI Ayatrohaedi, punya kelemahan. “Kalau dari bahasa Jawa, mengapa bukan lemah abang, seperti di perbatasan Karawang-Bekasi?” sanggahnya.
Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen di Weltevreden memang pasar tertua di Jakarta. Keduanya dibangun tahun 1751 oleh pemilik tunggalnya, tuan tanah Justinus Vinck. Berdasar surat izin tertanggal 30 Agustus 1735, hari pasar Weltevreden ditetapkan Senin, membuatnya dikenal sebagai Pasar Senen. Pasar Tanah Abang sejak 1751 dibuka Sabtu dan Rabu.
Kawasan Monas dan sekitarnya tak bisa lepas dari nama Letnan Gambier. Konon, “Pria Belanda berdarah Prancis itu yang membuka lahan sekitar stasiun KA dan Lapangan Monas,” bilang Ridwan Saidi. Wajar kalau namanya diabadikan sebagai stasiun KA. Entahlah jika 10 tahun mendatang, Gambir berubah menjadi nama bupati, gubernur, atau presiden yang ingin namanya dikenang.
Artikel ini pernah dimuat di Intisari edisi Juni 2002 dengan judul “Betawi Tercecer di Jalan”.