Memperingati Hari Kelahiran Bung Hatta: Bung Hatta Tidak Pernah Dendam kepada Bung Karno

Moh Habib Asyhad

Editor

Memperingati Hari Kelahiran Bung Hatta: Bung Hatta Tidak Pernah Dendam kepada Bung Karno
Memperingati Hari Kelahiran Bung Hatta: Bung Hatta Tidak Pernah Dendam kepada Bung Karno

Intisari-Online.com -Meski Bung Hatta sudah berpisah dari Bung Karno secara kenegaraan, namun hubungan keduanya sebagai sahabat tetap baik. Bung Hatta tidak pernah dendam kepada Bung Karno. Serang-menyerang soal ide negara antarkeduanya adalah hal yang biasa, tapi soal hubungan pribadi, mereka saling menjaga agar tidak menyinggung perasaan dan tidak menyakiti hati masing-masing.

Tahun 1962 Bung Hatta sakit. Bung Karno menyempatkan diri menengok sahabatnya tersebut, lalu memutuskan agar Bung Hatta memperoleh perawatan yang baik di luar negeri. Akhirnya Bung Hatta dapat berobat ke Swedia. Begitu juga sebaliknya.

Pascaperistiwa berdarah 30 September 1965, Bung Karno adalah tahanan rumah Orde Baru. Meski demikian, Bung Hatta tetap menaruh perhatian atas nasib karibnya itu. Pertemuan antara keduanya tidak mungkin lagi karena penguasa melarang siapa pun menemui Bung Karno, sampai akhirnya jatuh sakit yang demikian parah. Setelah melihat penderitaan Bung Karno yang sudah sedemikian parah, Bung Hatta minta kepada presiden Suharto agar Bung Karno dirawat di rumah sakit. Bung Karno akhirnya dirawat di RS Gatot Subroto, meskipun dengan pengawalan yang amat ketat dan perawatan ala kadarnya.

Bung Hatta kembali mengajukan permohonan kepada presiden Suharto agar diizinkan menengok karibnya yang tengah dirundung malang tersebut. Maka bertemulah kedua proklamator di rumah sakit, sebuah pertemuan yang digambarkan oleh Meutia Hatta putri Bung Hatta, sedemikian mengharukan.

“Begitu masuk ruang,” tulis Meutia, “Ayah langsung menuju tempat tidur Bung Karno satnbil berkata: ‘Aa No, apa kabar?’ Bung Karno diam saja, memandang Ayah beberapa lama. Kemudian mengucapkan kata-kata yang sulit kami tangkap, tapi kira-kira berbunyi: ‘Hoe gaat fief met jij? – apa kabar?’ Tak lama kemudian, beberapa kali air mata beliau menetes ke bantal, sambil memandang Ayah beberapa lama yang terus memijiti lengan Bung Karno. Beliau malah minta dipasangkan kacamata, agar dapat memandang Ayah lebih jelas lagi.

“Tidak ada katakata lebih lanjut, namun kiranya hati keduanya saling berbicara. Mungkin juga beliau berdua mengenang sukaduka di masa perjuangan puluhan tahun silam, masa-masa pergaulan bersama dan mungkin saling memaafkan,” kenang Meutia. Tidak ada dendam, tidak ada amarah. Mereka berbeda pendapat, tetapi nurani mereka tetap bersih tak ternoda karena sadar bahwa hidup hanya sekejap. Pertemuan tersebut menjadi pertemuan terakhir antarkeduanya, karena dua hari sesudahnya Bung Karno wafat.

Selain bukan sosok pendendam, Bung Hatta adalah sosok yang sederhana. Jika melakukan kunjungan ke luar negeri, ia hanya membawa satu kopor ketika berangkat, dan satu kopor pula waktu pulang. Tidak pernah lebih dari itu. Saking sederhananya, ketika sudah mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden Rl dan menjadi pensiunan, ia hampir saja tidak mampu membayar langganan air minum dan membayar iuran pembangunan daerah.

Cermin kesederhanaan yang lain adalah ketika menolak haknya untuk dimakamkan di makam pahlawan jika wafat. Dalam surat wasiat tertanggal 10 Februari 1975, ia mengemukakan, “...Saya tidak ingin dikubur di Makam Pahlawan (Kalibata). Saya ingin dikubur di tempat kuburan rakyat biasa yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya.” Tanggal 14 Maret 1980, Bung Hatta mendahului kita menghadap Sang Khalik. Namun jiwa dan semangatnya tetap bersama kita, menjadi teladan generasi mendatang.

Sekali lagi, selamat ulang tahun ke-133, Bung! (Purnawan Basundoro, "Bung Hatta Proklamator Sederhana Nyaris Jadi Ulama" dalam Intisari, 2009)