Intisari-Online.com -Adnan Buyung Nasution sering mengutip kata-kata ayahnya, Rahmat Nasution, yang senantiasa diidolakannya. “Abang anak pejuang dan harus berjuang di bidang apa pun.” Bagi anak mantan wartawan Antam ini, segala aktivitas dalam profesinya adalah kepentingan besar yang harus diprioritaskan.
la siang hari berangkat ke Bandung, malam bertemu pihak yang akan dibelanya, esok pagi sidang pengadilan, siang kembali ke Jakarta dan langsung terlibat beberapa pertemuan. Paginya seminar, siang dilantik jadi anggota sebuah kelompok, lantas ke kantor untuk menemui klien. Malamnya ia telah ditunggu grup mantan aktivis sebelum pulang. Esok pagi didatangi kandidat doktor yang akan diujinya, padahal itu hari Sabtu. Hari berikutnya, ia berangkat ke Seattle untuk menghadiri seminar di Universitas Washington School of Law dalam rangka mengenang sahabatnya, indonesianis Daniel Lev.
Dalam sehari, sedikitnya 5-10 surat dan undangan seminar, rapat, permohonan wawancara, juga pesta kawin dan acara pertemuan keluarga datang kepadanya. Mungkin karena ritme kehidupan yang seperti itu, Abang merasa perlu punya dua sopir yang bekerja bergiliran sekali seminggu.
Pilihannya pada acara yang berdimensi hukum, HAM, dan demokrasi. Menurut Buyung, yang pernah menjadi staf ahli Menteri Hukum zaman almarhum Baharudin Lopa, dalam kesempatan semacam itu ia melakukan perjuangan demokrasi dan HAM.
Ia antusias berbicara tentang perangkat hukum yang melindungi warga negara namun sekaligus sebagai pembatas kekuasaan negara. Ia punya kenangan pahit tentang penangkapan sewenang-wenang. Ayahnya ditangkap tentara Jepang secara amat kasar, tanpa boleh mengganti pakaian tidur atau bahkan pamit pada keluarga. Ketika ia dewasa, pengalaman buruk itu justru berulang pada dirinya. Buyung ditangkap dan dipenjarakan selama 22 bulan pada tahun 1974-1975 tanpa diadili.
Pengalaman itu membekas, bukan melulu untuk dibanggakan atau ditangisi, melainkan dijadikan dasar untuk perbaikan agar tak ada lagi orang yang mengalami hal serupa.
Adnan Buyung juga memperjuangkan kualitas dirinya. Sekalipun mengaku memiliki kecenderungan otoriter, ia ingin menjadi demokrat sejati. “Kalau bisa mengalahkan sifat otoriter kita, hasilnya adalah demokrasi.”
Seorang demokrat bisa menghargai eksistensi dan pendapat orang lain yang berbeda, bahkan berlawanan. Seperti dikatakan Voltaire, “I disagree with you, but I will protect your right to disagree with me.” Bukan hanya orang boleh berbeda pendapat, tapi, hebatnya lagi, hak orang yang berbeda pendapat itu dihormati dan dilindungi.
Sejumlah orang mengatakan, Buyung otoriter terutama kalau menyangkut LBH, “karya” monumentalnya. “Ya, saya otoriter dalam hal menjaga LBH tetap dalam garis yang sesuai dengan konsep yang dicita-citakan,” katanya.
Tahun 2006, lewat keputusan Dewan Pembina yang diketuainya, ia memberhentikan direktur Yayasan LBH. “Dalam soal ini saya tidak otoriter,” katanya. Ia bersikap keras demi menjaga agar LBH tetap inklusif, melakukan pembelaan tanpa memandang suku, agama, ras, antargolongan. Sedangkan ia mendapat bukti pimpinan LBH itu menjadi anggota ormas keagamaan. Artinya, habitat orang itu memang sudah berbeda dengan habitat LBH. Abang bisa menghargai pandangan orang tersebut sebagaimana diktum Voltaire. “Tapi, lakukan itu di luar LBH.”
Dengan alasan seperti itu, sekitar tahun 1992, Abang keberatan diajak menjadi anggota ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia). Ketika itu, Emil Salim menemui Buyung di Belanda dan memintanya. Aktivis HAM dan demokrasi ini bukannya menolak, melainkan juga menggugat. “Mengapa cendekia berkumpul dalam satu kotak golongan?” Bagi Buyung, cendekiawan yang hanya memperjuangkan satu golongan, berarti telah meninggalkan atribut kecendekiawanannya. (INTISARI)