Mengenang Adnan Buyung Nasution: Bukannya Tak Mau Poligami, tapi...

Moh Habib Asyhad

Editor

Mengenang Adnan Buyung Nasution: Bukannya Tak Mau Poligami, tapi...
Mengenang Adnan Buyung Nasution: Bukannya Tak Mau Poligami, tapi...

Intisari-Online.com -Adnan Buyung Nasution adalah sosok yang rajin berolahraga dan yoga. Setiap pagi kegiatan itu dilakukannya sebelum sarapan. Dalam soal makan, Buyung terbilang pelit nasi. Ketika sarapan, ia hanya makan beberapa potong buah, vitamin C, dan obat-obatan. Malam, buah jeruk menjadi makanan wajib. Di kantor pun selalu ada jeruk. Berat badannya terjaga dalam kisaran 67 kilogram, cocok bagi tingginya yang 166 cm.

Makanan itu penunjang kehidupan, bukan sebaliknya. Kalau harus memberi saran kepada orang lain, ia tak cuma menyarankan berhenti makan sebelum kenyang, tetapi berhentilah makan saat di puncak kenikmatan rasa.

Mengatur pola makan dan olahraga dilakukannya sejak terkena penyakit darah tinggi, 1973. Dokter Asikin Hanafiah, temannya, menasihati dia dan itu dilakukannya sampai kini. Buyung bahkan mati-matian menjaga kesehatan, katanya, agar bisa terus bekerja.

Tak hanya gemar berolahraga, Buyung sejak kecil terbiasa dengan hidup rapi. Dulu, saat ia minta uang jajan untuk malam mingguan, ayahnya akan melihat lebih dahulu apakah sepeda Buyung sudah bersih.

Juga kerapihan kamar, ketertiban saat mandi, dsb. Buyung menjadi contoh bagi Sjamsi, adik tunggalnya. “Lama-lama kebersihan dan kerapihan menjadi sifat saya.” Jika memasuki lobi hotel dan melihat lukisan miring atau bunga layu, ia segera memberitahu petugas tentang ketidakberesan ini.

Sifat perlente dan jago padu-padan sejak muda pasti membuat banyak gadis suka. Buyung tak memungkiri. “Kalau ditolak belum pernah, kalau menghadapi cewek jual mahal pernah. Waktu remaja Abang anak dugal.”

Tapi hatinya hanya terpaut kepada Tengku Sabariah Sabaruddin (Kak Ria). Ia memang banyak kawan perempuan, staf di kantornya pun banyak perempuan, dan semuanya diperlakukan dengan amat baik. Tak jarang Buyung memberi hadiah cium.

Soal berpoligami, bukannya Buyung tidak pernah terpikir, dan bukannya tidak ada yang mau. Tapi, baginya, istrinya adalah mitra seiring dalam jatuh-bangun kehidupan. “Mana bisa Abang seperti sekarang kalau bukan karena Tengku Sabariah?” Ini alasan pertama.

Kedua, wanita yang bersedia dinikahi mulai mengungkapkan kekurangan-kekurangan Kak Ria. “Pada saat itu simpati Abang pada perempuan itu luntur.” Ketiga, sama seperti dikemukakan banyak lelaki, adalah rasa khawatir tidak mampu bersikap adil. Keempat, bahaya perpecahan dalam keluarga bila beristri lebih dari seorang. (INTISARI)