Robot Tangan Tawan: Dari Inovasi Hingga Kontroversi

Ade Sulaeman

Editor

Robot Tangan Tawan: Dari Inovasi Hingga Kontroversi
Robot Tangan Tawan: Dari Inovasi Hingga Kontroversi

Intisari-Online.com – Seorang pria asal Karangasem, Bali, I Wayan Sutawan alias Tawan tiba-tiba ramai dibicarakan di berbagai media. Hal ini dipicu oleh robot tangan buatan Tawan.

Jika saja dia seorang doktor di bidang robotika, mungkin temuan tersebut akan dianggap wajar. Namun, fakta bahwa Tawan hanya seorang tukang las lulusan SMK, membuat robot tangan yang diklaimnya menggunakan teknologi electroencephalography (EEG) tersebut menjadi sebuah temuan yang luar biasa.

Apalagi, di depan awak media, pria berusia 31 tahun tersebut menunjukkan keluwesan robot buatan yang menurut sang pencipta dikendalikan lewat otak tersebut. Gerakan mengangkat dan menggenggam perlengkapan las begitu halus.

Saking halusnya, teknologi tersebut memicu keraguan “Kalau ada di sana, saya bisa bertanya macam-macam. Tapi dengan teknologi yang ada sekarang, itu terlalu maju,” tutur Arjon Turnip, perekayasa kursi roda dengan teknologi EEG dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Tanpa bermaksud tak menghargai inovasi, Arjon menitikberatkan keraguannya pada dua hal, yaitu letak elektroda dan cara pengolahan sinyal dari otak.

"Kalau kita lihat elektrodanya ada sedikit di atas telinga. Itu letaknya terlalu ke bawah," kata doktor rekayasa mekanik lulusan Pusan University, Korea itu. "Lalu dia bilang untuk menggerakkan tangan kiri, elektrodanya dipasang di sebelah kanan. Tidak sesederhana itu aplikasinya."

Menurut Arjon, garakan EEG tak hanya melibatkan satu bagian otak san sangat menuntut konsentrasi.

Algoritma untuk pengolahan sinyal juga bukanlah hal yang mudah untuk dibuat. . "Sinyal dari otak itu ibarat jarum di tumpukan jerami. Sulit ditangkap dan banyak sampahnya. Itu harus diolah dulu. Butuh akurasi tinggi dalam pengolahan agar bisa buat gerakan halus seperti ditunjukkan Tawan," jelas Arjon.

Proses mengolah sinyal otak sendiri tak mudah. "Untuk kursi roda saya saja, itu mati-matian buatnya. Akurasinya belum tinggi. Padahal itu hanya untuk maju, belok kanan, belok kiri. Punya Tawan itu gerakannya bermacam-macam dan halus sekali. Itu yang membuat saya ragu," jelas Arjon.

Arjon berkomentar, dengan kondisi Tawan yang tak lumpuh total, sebenarnya Tawan juga tak perlu robot dengan teknologi EEG. Teknologi robot elektromyography (EMG) saja sudah cukup. "Sinyal dari otot saja bisa. Lebih ekonomis. Sebab teknologi EEG itu mahal," kata Arjon.

(kompas.com)