Intisari-Online.com -Biasanya tokoh besar dikenal orang lantaran tindakan yang diambilnya juga berdampak besar. Sebagai manusia biasa Bung Karno memiliki banyak kisah-kisah sepele khas rakyat kecil yang justru akan menyempurnakan hidupnya ketika menjadi orang besar. Beberapa di antarnaya adalah ketika harus berpidato di atas kasur dan ngutang pada seorang sopir taksi.
Ketika berusia 21 tahun dan masih kuliah di Sekolah Teknik Tinggi (ITB) Bandung, Soekarno hadir dalam rapat raksasa Radicale concentratie di Bandung. Meskipun tidak terdaftar sebagai pembicara, pemuda pemberani ini ngotot minta berbicara. Pidatonya yang meledak-ledak membangkitkan semangat rakyat untuk melawan Belanda. Namun karena sisi pidatonya dianggap membahayakan, akhirnya ia diturunkan oleh polisi Belanda. Akhirnya oleh polisi Belanda Soekarno diadukan kepada Prof. Klopper dosennya. Ia dinasihati dan diperintahkan untuk konsentrasi belajar saja. Bung Karno menurut, namun tetap saja jiwa nasionalismenya meledak-ledak.
Karena merasa tidak tersalurkan ia melampiaskannya di tempat tidur, sehingga teman se-kostnya, Djoko Asmo, mengumpat terus karena tidak bisa tidur. Waktu itu mereka kost di rumah Inggit Garnasih. Setelah merasa “puas” memaki-maki Belanda, baru Bung Karno dan Djoko tertidur, namun tak lama kemudian buru-buru bangun karena kelambu terbakar.
Rupanya saking semangatnya saat pidato yang diikui dengan “gerak”, lampu teplok di meja tersenggol jatuh membakar kelambu. Keduanya jadi repot sendiri memadamkan api. “Bung untung tempat tidur ini terbuat dari besi, kalau tidak ya ambruk..!” Begitu Djoko Asmo menegur Bung Karno.
“Maaf, aku lupa, kita berada di tempat tidur. Kukira di podium,” sahut Bung Karno.
Kepada Kombes. Pol. Pak Mangil, komandan Detasemen Kawal Pribadi, Bung Karno bercerita, “Aku selalu pidato menggelorakan semangat kemerdekaan, terkadang lupa tempat, jadi tidak heran jika yang jadi korban tempat tidur atau mikrofon tersenggol dan jatuh. …”
Banyak yang tidak tahu Pak Arif yang menjadi sopir pribadi Bung Karno dulunya adalah seorang sopir taksi di Jakarta. Arif dikenal Bung Karno jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni ketika Bung Karno masih tinggal di Bandung dan aktif sebagai tokoh PNI yang berjuang untuk kemerdekaan. Hampir setiap minggu Bung Karno ke Jakarta naik KA untuk menemui M. Husni Thamrin, tokoh pejuang Betawi yang tinggal di Jl. Kenari.
Biasanya setiba di stasiun Gambir, Bung Karno langsung mencari taksi langganannya, yang disopiri Pak Arif. Sampai di Jl. Kenari Pak Arif menunggu pembicaraan Bung Karno dan Husni Thamrin selesai, kemudian mengantarnya kembali ke stasiun Gambir. “Rif, hari ini aku tidak punya duit. Tapi kamu siap mengantarku ke tempat biasa?” Bung Karno berterus terang.
“Tidak apa-apa Pak?” jawab Arif meski hari itu ia belum mendapat pemasukan.
“Jangan kawatir Rif. Nanti kalau penjajah sudah kita usir… aku akan melunasinya. Mobilmu ini akan aku ganti.” Arif hanya mengangguk angguk.
Hal demikian itu sudah berkali kali terjadi, sampai suatu hari Bung Karno tidak punya uang untuk bayar ongkos taksi , tapi karena sudah biasa, Pak Arif tidak keberatan Bung Karno kembali berutang. Suatu hari menjelang proklamasi kemerdekaan RI, Bung Karno datang lagi ke Jakarta dan ketika akan membayar ongkos taksi ia memberikan uang kepada Arif yang jumlahnya jauh lebih besar, sampai Arif terheran-heran.
“Ini pembayaran utang-utangku padamu selama ini.”
Setelah Bung Karno dipilih menjadi presiden, Pak Arif diangkat sebagai sopir pribadi, sampai 20 tahun lamanya. Akhirnya setelah pensiun Bung Karno memberi hadiah Arif ongkos naik haji. Bung Karno dikenal selalu tampil rapi dalam berpakaian, oleh karena itu mau tak mau semua menteri, staf, dan pengawalnya harus berpenampilan rapi juga. Sudah biasa, beliau sendiri yang memperbaiki letak dasi atau kerah kemeja pengawal atau wartawan yang bertugas di istana.
Meski demikian, jika ada pakaiannya yang robek, Bung Karno minta dijahit lagi, tidak disisihkan. Orang tidak tahu, terkadang Bung Karno memakai pakaian yang sudah pernah robek. Apalagi jika pakaian itu sangat disukainya, maka tidak peduli sudah dijahit berapa kali pun tetap dipakai. Demikian juga sandalnya. Kalau putus ya dijahit kembali, tidak perlu beli yang baru.
Pagi itu ketika Bung Karno selesai jogging di luar istana, Mentranskop Achadi yang diundang untuk sarapan bersama Menpen Achmadi, melihat celana panjang komprang yang dipakai Bung Karno bagian belakangnya robek karena benangnya lepas. Achadi yang dikenal “berani” pada Bung Karno, lalu memberitahukan tentang sobeknya celana tersebut. “Wah, untung kamu yang melihatnya Di. Kalau yang melihatnya artis film, bisa berabe, “ kata Bung Karno sambil tertawa lepas. Suasana sarapan pagi itu jadi meriah.(Djati Surendro/Intisari)