Kisah Sukses Asia Perantauan Di AS

Agus Surono

Editor

Kisah Sukses Asia Perantauan Di AS
Kisah Sukses Asia Perantauan Di AS

Intisari-Online.com -Wang Computer mencapai kejayaannya di era 1980-an. Berangkat dari nol, An Wang membangunnya sampai menjadi bisnis miliaran dolar. Bagaimana seorang imigran dengan modal seadanya bisa demikian berjaya? Kisah ini disarikan dari autobiograft Dr. An Wang, Lessons (1986), yang ditulisnya bersama Eugene Linden.

Saya lahir di Shanghai pada tanggal 7 Februari 1920. Saat itu Cina sedang kalut. Bagi orang-orang Cina yang berpendidikan, masa itu bisa disamakan dengan zaman Renaissance di Eropa, tetapi bagi orang-orang miskin bisa dibandingkan dengan zaman kegelapan.

Saya diberi nama An, sedangkan nama keluarga saya Wang. An Wang artinya Raja Damai. Ayah saya guru bahasa Inggris di SD swasta di Kun San, suatu dataran tinggi berpenduduk sekitar sepuluh ribu orang, sekitar 50 km dari Shanghai. la pulang seminggu sekali ke rumah sewaan milik keluarga ibu saya. Masa itu jarang sekali orang Cina berkesempatan belajar di sekolah tinggi.

Jadi ayah saya termasuk berpendidikan cukup, walaupun ia cuma belajar setahun di Universitas ChiaoTung (kini Jiao Tong). Kalau terjadi perang atau kerusuhan, sekolah diliburkan dan Ayah menjadi sinse untuk mengobati orang-orang yang sakit perut, flu, atau malaria. Maklum rakat jelata cuma bisa bisa memperoleh obat-obatan tradisional.

Ayah saya pendiam. la juga angker dan menerapkan disiplin keras. Sedangkan Ibu penuh kasih sayang dan selalu mengikuti kehendak anak. Saya mempunyai kakak perempuan, Hsu, adik perempuan bernama Yu, dan dua adik laki-laki bernama Ping dan Ge. Yu enam tahun lebih muda dari saya, Ping 10 tahun lebih muda dari saya, sedangkan Ge baru lahir ketika saya berumur 14 tahun.

Lulus pas-pasan

Kami pindah ke Kun San yang sejuk dan subur ketika umur saya enam tahun. Di sana kami tidak pernah mengalami musim kemarau panjang ataupun kelaparan seperti yang terjadi di bagian Cina yang lain. Maka masa itu saya tidak pernah mengetahui adanya kesengsaraan seperti yang dilukiskan oleh Pearl S. Buck dalam bukunya yang termasyhur, The Good Earth.

Sebagai anak umur enam tahun sudah sepantasnya saya masuk sekolah, tetapi sekolah tempat ayah saya mengajar tidak memiliki kelas 1 maupun 2 SD, apalagi TK. Jadi saya langsung masuk ke kelas 3, sebagai anak yang dua tahun lebih muda dari teman-teman sekelas. Rasanya sama saja seperti kalau kita dilemparkan ke dalam air padahal tidak bisa berenang.

Dalam keadaan seperti itu hanya ada dua kemungkinan: tenggelam atau segera bisa berenang. Saya segera sadar bahwa saya pandai berhitung. Saya dapati bahwa kalau saya berpikir cukup keras dan cukup lama, soal-soal hitungan bisa saya pecahkan. Pernah guru saya berkata kepada teman sekelas saya, "Coba lihat, nih, anak yang lebih muda dua tahun dari kamu saja bisa. Mengapa kamu tidak becus?" Jelas tindakannya membuat saya tidak populer di antara teman-teman sekelas. Namun, dengan bersusah payah akhirnya saya bisa juga menanggulangi hambatan sosial dan pelajaran di sekolah.

Selain ilmu bumi, kami mendapat pelajaran sejarah dan kebudayaan Cina. Tapi bagi saya pelajaran-pelajaran itu membosankan. Dalam pelajaran bahasa Inggris, yang kami peroleh mulai kelas 4, saya agak lebih maju daripada anak-anak lain sebab saya sudah diajari abjad Inggris di rumah pada umur empat tahun. Sedangkan kebudayaan Cina dan pemikiran Cina saya peroleh dari nenek saya yang rumahnya di Shanghai juga. Berkat dia, Konfusianisme tertanam dalam diri saya, walaupun pada masa itu saya lebih tertarik pada permen yang ia berikan seusai pelajaran.

Sesudah menyelesaikan kelas 6, ada dua pilihan tersedia bagi saya: ikut ujian masuk SMTP atau menunggu dulu setahun supaya umur saya tidak terlalu berbeda dengan rekan-rekan sekelas. Masa itu untuk masuk SMTP biayanya mahal sekali bagi ukuran keluarga Cina tahun '30-an yaitu 10 dolar perak. Maklum di Kun San cuma ada dua sekolah menengah, yang setiap tahunnya hanya bisa menampung 50 - 100 anak.

Nilai-nilai saya untuk pelajaran hafalan jelek, sehingga saya lulus pas-pasan. Jadi keluarga saya menganjurkan menunggu dulu setahun sebelum ikut ujian masuk sekolah menengah. Namun, saya tidak mau mengulang kelas 6 setahun lagi. Walaupun nilai saya buruk dan umur saya terlalu muda, saat itu saya yakin bisa lulus. Jadi saya memaksa juga ikut ujian masuk. Temyata hasil ujian saya paling bagus sehingga orangtua saya segera melupakan pembangkangan saya. Rasa percaya diri saya pun bertambah.

Di SMTP, keadaan saya sama saja seperti di SD. Untuk pelajaran nonsains saya payah. Walaupun dalam metematika saya pandai, pada umumnya saya lebih suka bermain daripada membuat PR. Akibatnya setiap kali naik kelas nilai saya pas-pasan saja.

Anak harus ikut rapat akbar

Pada masa itu di Kun San tidak ada orang Barat, tetapi saya banyak belajar tentang dunia yang ada di luar kota dan Negara Cina lewat buku-buku.

Saya senang membaca dan sering pergi ke perpustakaan untuk membaca segala macam buku, terutama buku tentang fisika dan matematika. Saya membaca tentang Leonardo da Vinci, Galileo dan juga para pemikir barat lain dalam dunia sains. Saya terkesan oleh riwayat Sir Isaac Newton karena ia dapat melihat hal-hal yang tidak konvensional, karena ia mempertanyakan konsep-konsep yang sudah diterima secara mutlak. Ancaman Jepang yang sudah merebut Manchuria membuat pihak-pihak yang terus-menerus bertikai di dalam negeri berdamai sebentar untuk menghadapi musuh bersama. Seingat saya antara umur 8 - 12 tahun itu kami, murid-murid sekolah, harus ikut rapat-rapat besar yang mengobarkan semangat anti-Jepang dan kadang-kadang juga Inggris. Rapat-rapat itu membuat saya bertanya-tanya di dalam hati, apakah pembicara sendiri melaksanakan anjuran-anjurannya. Saya sangsi.

Umur 13 tahun saya dipindahkan ke SMU dekat rumah nenek saya di Shanghai. Sekolah itu memang reputasinya baik dalam bidang sains. Kepala sekolahnya lulusan S2 dari Columbia University, la dulu dibimbing pendidik Amerika John Dewey yang terkenal itu. Di sana buku-buku aljabar yang kami pakai sama dengan yang dipakai mahasiswa tingkat I di AS. Buku ilmu bumi dan sejarah saya pun ditulis dalam bahasa Inggris. Sejak dulu saya tidak berminat menghafalkan nama-nama tempat dan tahun-tahun. Kini hal itu mesti saya lakukan dengan bahasa Inggris. Tentu saja hasilnya bisa diterka. Walaupun penggunaan buku-buku teks dalam bahasa Inggris tidak saya sukai, namun kemudian hal itu akan banyak menolong saya ketika mendapat kesempatan menuntut ilmu di AS.

Karena sekolah dipindahkan sekitar 15 km ke luar kota, saya pun tinggal di asrama yang peraturannya ketat. Sekolah usai pukul 16.00. Setelah makan malam kami harus belajar selama 2 jam. Pukul 21.00 lampu dipadamkan.

Berhubung tubuh saya jauh lebih kecil dibandingkan dengan teman- teman sekelas, saya tidak mampu ambil bagian dalam olahraga beregu. Kadang-kadang saya dapat juga kesempatan untuk menjadi kiper dalam permainan bola, tapi saya lebih sering menjadi bulan-bulanan daripada menjadi penjaga gawang. Namun, prestasi saya lumayan dalam olahraga perorangan, seperti tenis meja. Kemudian ketika sudah mahasiswa saya terpilih untuk bertanding mewakili universitas dalam tim olahraga kami.

Keluarga kocar-kacir

Umur 16 tahun saya lulus SMU dan diterima di Universitas Chiao Tung, universitas yang mungkin bisa disebut sebagai MIT-nya Cina. Dalam ujian masuk universitas, angka saya paling tinggi di bagian saya sehingga saya diangkat menjadi 'ketua kelas'. Kedudukan itu bisa saya pertahankan selama empat tahun di sana. Saya senang belajar teknik elektro dengan penekanan pada komunikasi karena dalam bidang ini mata pelajaran matematika dan fisika yang saya sukai diterapkan untuk penggunaan praktis. Karena sama sekali tidak mendapat kesulitan di Chiao Tung, saya lebih banyak main tenis meja daripada belajar.

Salah satu kegiatan saya masa itu ialah mencari tulisan-tulisan ilmiah menarik dari majalah-majalah Amerika seperti Popular Mechanics dan Popular Science untuk diedit dan diterjemahkan ke bahasa Cina. Guru-guru yang paling saya senangi giat berusaha mengubah Cina menjadi masyarakat modern. Minat mereka sama sekali tidak bermaksud menyingkirkan kebudayaan Cina, tetapi ingin membuka negara bagi gagasan-gagasan baru dan teknologi. Mereka mencoba menunjukkan kepada orang-orang muda seperti kami bahwa kami bisa belajar dari dunia di luar perbatasan Cina.

Di masa itu Shanghai terdiri atas sebuah kota besar dan wilayah konsesi-konsesi, yaitu daerah seluas 14,5 km2, yang terbagi dua menjadi Permukiman Internasional (diperintah oleh Inggris, AS, dan pemegang konsesi lain) dan konsesi Prancis (diperintah oleh Prancis). Konsesi-konsesi itu dulu diberikan oleh Cina setelah kalah dalam Perang Candu. Walaupun konsesi-konsesi itu berada di Cina, namun orang-orang Cina di sana dianggap orang asing dan tunduk pada penguasa konsesi.

Pada musim semi 1937 saya berlibur ke Kun San. Perang dengan Jepang tampaknya hampir meletus (Jepang sudah merebut Manchuria tahun 1931, tapi Perang Dunia II baru resmi pecah di Cina ketika Jepang merebut Beijing tahun 1937). Saya buru-buru ke Shanghai lagi, khawatir teralang oleh perang.

Chiao Tung sebetulnya terletak di luar Permukiman Internasional. Selama tiga tahun setelah itu, perang berkecamuk di Cina, tetapi di Permukiman Internasional keadaan aman-aman saja. Saya merasa lega ketika mendengar keluarga saya meninggalkan Kun San untuk menuju daerah konsesi.

Kemudian Prancis jatuh ke tangan Jerman (1940). Jepang memanfaatkan kesempatan untuk mendapat kekuasaan yang semakin lama semakin banyak di daerah konsesi Prancis.

Sesudah lulus dari Chiao Tung tahun 1940 saya menjadi asisten di sana, mengajar teknik elektro. Jelas tidak lama lagi Jepang akan menguasai Shanghai. Jadi bersama delapan teman sekelas saya ikut proyek pembuatan pemancar dan radio untuk tentara pemerintah Kweilin yang terletak di pedalaman.

Saya tidak tahu bahwa tidak lama setelah saya meninggalkan Shanghai, Ayah meninggal. Saya tidak tahu apa tepatnya penyebab kematiannya. Cuma dikatakan bahwa ia meninggal akibat perang. Ketika itu kakak saya, Hsu, baru menikah dan tinggal bersama keluarga suaminya, sedangkan adik-adik saya diambil oleh keluarga kami. Hsu juga kemudian meninggal akibat perang. Adik-adik saya selamat, tetapi saya baru berjumpa kembali dengan mereka 40 tahun kemudian.

Menuju AS

Saya tidak heran kalau tentara Kuomintang kemudian kalah melawan komunis. Rakyat tak mau membantu mereka bukan karena ingin diperintah komunis tetapi karena mereka segan diperas oleh tentara Kuomintang. Tentara Kuomintang korup. Mereka meminta perbekalan dalam jumlah yang jauh melebihi kenyataan, padahal saat itu Cina sedang menghadapi Jepang.

Sesaat sebelum Jepang merebut Kweilin di tahun 1944, kelompok kami diungsikan ke Chungking. Semasa di Kweilin, saya mendengar ada program latihan di AS bagi para insinyur Cina. Program yang disponsori pemerintah nasionalis itu dimaksudkan untuk persiapan membangun kembali Cina. Program itu sebagian disokong oleh uang Amerika.

Saya ikut ujian dan diterima. Dalam ujian itu saya lulus nomor dua, sedangkan juara pertamanya teman sekelas juga, T.L. Wu. (Setelah tamat belajar di AS Wu kembali ke Cina. la tewas dibunuh di masa Revolusi Kebudayaan).

Ada beberapa ratus orang yang terpilih ikut program ini. Kami diangkut dengan DC-3 ke Ledo di India, lalu dengan kereta api ke Kalkuta. Ketika itu Jerman baru beberapa minggu menyerah. Dengan kapal Amerika kami tiba di Newport News, Virginia, pada bulan Juni 1945. Rencananya saya akan berada di AS selama dua tahun dengan uang saku sebesar AS$ 100 sebulan. Masa itu uang sekian cukup untuk hidup pas-pasan.

Orang-orang tidak percaya bahwa saya tidak pernah mengalami culture shock ketika tiba di negara yang kekayaannya, orang-orangnya, dan makanannya berbeda itu. Anehnya saya justru melihat banyak persamaan dengan Cina. Mungkin karena persamaan itulah yang saya cari.

Kelompok saya dikirim ke Georgetown University di Washington, D.C. Saat itu sedang musim panas, sehingga banyak asrama kosong. Kami boleh tinggal di sana sampai menemukan tempat untuk latihan di perusahaan-perusahaan besar AS. Ada rekan saya yang magang di Westinghouse, ada pula yang di RCA.

Ketika saya masih menunggu lowongan, saya ketahui bagi kami juga terbuka kesempatan untuk mengikuti program pascasarjana. Saya melamar ke Harvard University. Banyak dosen Chiao Tung, termasuk dekan teknik elektro, adalah lulusan Harvard. Dari merekalah saya mengetahui reputasi universitas itu.

Tidak ngoyo

Saya sangat beruntung. Masa itu Jerman sudah menyerah tetapi Jepang belum. Kebanyakan pemuda AS masih berdinas di ketentaraan sehingga Harvard yang biasanya susah dimasuki pun agak lowong. Selain itu Chiao Tung juga memiliki reputasi yang baik dan orangorang Chiao Tung yang pernah belajar di sana menunjukkan reputasi baik. Atau mungkin juga Harvard diberi tahu perihal program pendidikan yang disponsori AS itu. Yang jelas, saya bersama beberapa kawan diterima di sana. Berarti waktu itu diterima di Harvard lebih mudah daripada diterima magang di perusahaan-perusahaan.

Bulan September 1945 saya pindah ke Perkis Hall, asrama untuk mahasiswa pasca-sarjana di Harvard. Saya tidak merasa terlalu asing di sini, sebab ada kawan lain dan juga ada David K. Chung yang sudah lebih dulu ada di sana. (la kemudian mengajar kimia di Syracuse University.)

Saya belum lancar berbicara bahasa Inggris, tetapi sudah lumayan dapat menulis dalam bahasa itu, sebab sejak sekolah saya memakai buku pelajaran Amerika. Jadi saya merasa betah di Harvard. Pada masa itu saya beruntung, karena dua di antara pengajar saya adalah Prof. Edward Mill Purcell dan Percy W. Bridgman, yang kemudian mendapat Hadiah Nobel untuk karya yang mereka buat di Harvard.

Karena sudah selama lima tahun di Chiao Tung saya mempraktikkan pengetahuan akademis dalam mendesain dan membuat peralatan radio serta komunikasi dengan bahan-bahan seadanya, saya merasa pelajaran di sana relatif mudah. Betapa pun juga teknik elektro itu sains terapan. Pada semester pertama saya mendapat dua A+ dan dua A.

Walaupun di AS komponen banyak dan murah, saya sudah terbiasa memanfaatkan bahan sehemat mungkin. Lagi pula makin sedikit komponen peralatan yang kami buat, makin kurang kemungkinan terjadi kerusakan.

Ada orang yang kerjanya mengotak-atik komponen sepanjang hari lalu membawa pekerjaannya ke rumah, supaya bisa melanjutkan kerjanya sampai larut malam. Sebaliknya, saya lebih suka berpikir sambil menghadapi kertas dan pensil. Sampai saat ini pun saya tidak mempunyai bengkel kerja di rumah. Saya juga tidak bekerja siang malam. Saya cukup puas untuk menunggu sampai besok. Kalau terjadi kesalahan, saya akan mencoba memahami di mana salahnya, lalu membetulkannya.

Meraih Ph.D

Sesudah memperoleh gelar master tahun 1946, saya masih berniat pulang ke Cina kalau program dua tahun itu sudah lewat. Namun pada tahun kedua, pemerintah nasionalis harus mempergunakan uang mereka untuk keperluan yang lebih mendesak, yaitu melawan Mao. Jadi saya harus mencari uang sendiri.

Seorang lulusan Chiao Tung yang juga lulusan pasca-sarjana dari Harvard, W.K. Chow, memanggil saya ke Kanada untuk membantunya. la bertugas membeli bahan-bahan untuk pemerintahan Cina. Bulan November 1946 saya datang, tetapi segera tahu bahwa saya salah pilih. Saya tidak cocok dengan kerja administrasi yang rutin membosankan.

Saya cepat memutuskan kembali ke Harvard untuk mengambil Ph.D. Bulan Desember saya menulis surat pada Prof. E. Leon Chaffee, ketua Departement Fisika terapan di Harvard, untuk bertanya apakah saya bisa ikut program Ph.D. Saya kenal Prof. Chaffee karena ia mengajar fisika di kelas saya.

Rupanya karena hasil program master saya baik, ia menerima saya. Supaya saya bisa membiayai diri sendiri, ia menawarkan pekerjaan. Saya akan mendapat AS$ 1.000 setahun, kalau saya menjadi instruktur di laboratorium selama delapan jam seminggu. la juga bersedia menjadi pembimbing disertasi saya.

Jadi bulan Febmari 1967 saya kembali ke Cambridge. Ongkos sewa kamar saya cuma AS$ 7 seminggu. Saya harus cepat-cepat mendapatkan Ph.D., sebab saya terdesak biaya. Pada bulan September, Dr. Chaffee menolong saya mendapat bea siswa dari Benrus Time, sehingga saya tidak perlu mengajar lagi. Dengan demikian saya bisa mencurahkan perhatian sepenuhnya pada disertasi. Bahkan dengan bea siswa ini pun saya harus ngebut.

Banyak orang mengira disertasi saya adalah tentang sains komputer, padahal tentang nonliniermechanics. Sains komputer masih bayi pada akhir tahun 1940-an, sehingga saya kira tidak ada orang yang mendapat Ph.D. dari sains komputer sebelum 1948, walaupun Harvard seperti kampus-kampus lain melakukan banyak kegiatan dalam pengembangan mesin-mesin yang masih digolongkan rahasia itu. Saya sama sekali tidak termasuk pada kelompok yang melakukan kegiatan itu, walaupun saya ikut kuliah digital electronic circuitry yang kemudian sangat berguna bagi pengembangan komputer.

Ketika sedang membuat disertasi itu, kami yang berasal dari Cina setiap hari risau dan mendiskusikan keadaan di negeri kami. Walaupun kadang-kadang ada di antara kami yang mendapat surat dari keluarga, kebanyakan berita tentang keadaan di sana kami peroleh dari surat kabar.

Pemerintah nasionalis menginginkan kami kembali ke Cina begitu program seleksi selesai. Dari sekitar 50 orang yang belajar di daerah Cambridge, + 25 orang segera kembali. Sebagian lagi ingin menunggu dulu apa yang terjadi di Tanah Air.

Tiga puluh lima tahun kemudian, ketika saya berkunjung ke Cina, saya bertemu dengan beberapa di antara bekas teman saya. Mereka bercerita bahwa ada beberapa dari mereka yang mendapat kedudukan senior di pemerintah, tetapi beberapa lagi tewas dalam Revolusi Kebudayaan tahun '60-an.

Pada pertengahan tahun 1947, jelas bahwa kaum nasionalis akan kalah. Saya menerima berita buruk tentang pembantaian dan sebagainya. Saya pikir untuk apa saya kembali? Ayah saya sudah meninggal, sedangkan adik-adik saya mendapat perlindungan dari keluarga kami. Saya pasti tidak bisa hidup di alam totaliter seperti yang diterapkan kaum komunis, karena sejak kecil saya terbiasa independen. Saya ingin menentukan hidup saya sendiri.

Dalam keadaan sibuk menyelesaikan disertasi, saya tidak mempunyai banyak waktu untuk merenung. Saya harus ikut kursus kilat bahasa Prancis dan mencoba meningkatkan bahasa Jerman yang sudah saya pelajari di Cina sehingga bisa memenuhi syarat untuk mengikuti ujian. Kemampuan yang dituntut dalam kedua bahasa itu bagi orang-orang yang belajar sains tentu tak setinggi yang dituntut dari mahasiswa sastra. Januari 1948 saya lulus ujian dan musim semi saya berhasil mempertahankan disertasi saya dalam fisika terapan.

Tersesat di dunia komputer

Walaupun disertasi saya itu tidak ada hubungannya dengan Wang Laboratories yang saya dirikan tiga tahun kemudian, atau enam tahun setelah saya tiba di AS, namun gunanya banyak. Teknologi komputer adalah barang baru. Pelanggan akan percaya kalau tahu bahwa orang asing pendiri perusahaan itu adalah Ph.D. dari salah satu universitas yang paling hebat di AS.

Setelah meraih Ph.D., saya bekerja di Harvard Computation Laboratory pimpinan Prof. Howard Aiken, yaitu desainer Mark I, salah satu pionir pengembangan komputer.

Hal itu saya lakukan bukan karena saya tertarik betul pada komputer, tetapi karena laboratorium itu dekat letaknya dan saya pikir saya sanggup mengerjakan pekerjaan di sana.

Sebenarnya, sebelumnya saya melamar ke Hughes Aircraft, tetapi disodori setumpuk formulir untuk pengecekan sekuriti. Maka itu saya masuk saja ke kampus lagi. Saya diterima sebagai tenaga riset di sana oleh Prof. Howard Aiken dan Benjamin Moore. Tanggal 18 Mei 1948, sehari setelah bekerja, saya diberi tugas memecahkan masalah penyimpanan informasi dalam komputer.

Sebagai orang baru saya belum terbawa oleh cara pemikiran di laboratorium itu. Saya lebih bebas menemukan cara-cara yang tidak konvensional. Jadi setelah berpikir keras selama beberapa minggu, soal itu bisa saya pecahkan. Saat itu saya sama sekali tidak merasa dan menyangka bahwa penemuan itu (yang merupakan dasar konseptual untuk alat-alat penyimpanan memori) akan memainkan peranan penting di kemudian hari.

Harvard Computation Laboratory merupakan salah satu pusat pengembangan komputer digital pada tahun '40-an. Segala sesuatu yang berkenaan dengan komputer masa itu masih baru. Para ahli riset belum mempunyai spesialisasi. Keterbukaan antara laboratorium-laboratorium di AS dan Inggris mempercepat derap penemuan. Para ahli bersemangat mengumbar kretivitasnya. Selain itu komputer juga belum penting secara komersial.

Komputer yang pertama-tama besarnya bukan main. Mark I umpamanya, berukuran 17 m dan tingginya 2,6 m. Bunyinya ribut sekali kalau sedang bekerja, sampai suara kita tidak kedengaran kalau berbicara dekatnya.

Komputer masa itu bisa menyimpan data, program dan mempunyai CPU. Kerjanya cuma berhitung saja. Pionir pengembangan komputer, Dr. Aiken, dulu tertarik ke bidang komputer karena harus menghitung yang rumit-rumit waktu menyiapkan disertasinya tahun '30-an.

Mark I itu bersifat mekanis elektris dan bisa menghitung lebih cepat dari pada mesin hitung mekanik. Namun, betapapun cepatnya ia masih dibatasi oleh kemampuannya memperoleh data yang diperlukan dalam berhitung. Sumbangan saya pada sains komputer ialah menolong mendesain cara yang memungkinkan komputer memperoleh data dengan cepat. Bagian desain komputer yang berhubungan dengan hal itu dulu namanya storage, sekarang memori. Di masa kini kalau mengukur kemampuan komputer kita memakai ukuran: berapa banyak memori yang dimiliki dan berapa cepatnya memori itu bisa dicapai.

Ketemu Lorraine

Computation Laboratory terdiri atas Dr. Aiken dengan lima atau enam ahli riset, ditambah beberapa orang asisten. Setiap ahli riset mempunyai kebebasan besar. Selain saya, ada lulusan Chiao Tung lain di sana, Dr. Way Dong Woo.

Dr. Aiken bukan orang yang sabar menghadapi seseorang yang berbicara bertele-tele. la juga ditakuti. Saya kadang-kadang ikut menumpang kendaraannya pulang. Seingat saya ia tidak pernah marah kepada saya. Bukan apa-apa: saya tidak bisa banyak cakap. Sebab kemampuan berbahasa Inggris saya masih repot, saya selalu berusaha berbicara sesingkat mungkin.

Pada tahun 1948 saya bertemu dengan Lorraine Chiu, orang Shanghai juga. Sebenarnya orangtuanya lahir di Hawai (sebelum Hawai menjadi negara bagian AS), tetapi mereka kembali ke Shanghai pada masa revolusi Sun Yat-sen. Kami tidak pernah bertemu semasa di Shanghai, la lulusan St. John College di Shanghai, kemudian meneruskan belajar kesusastraan Inggris di Wellesley College seperti kakaknya. Dalam pertemuan-pertemuan antara sesama mahasiswa Cina yang belajar di daerah Boston-lah saya bertemu Lorraine. Kami jadi sering berkencan dan setahun setelah pertemuan pertama kami menikah. Karena di Cina sedang terjadi perang saudara, kami tak bisa mengikuti tradisi untuk meminta persetujuan orangtua. Sesudah menikah kami tinggal di sebuah apertemen yang cukup menyenangkan di Massachusetts Avenue, Cambridge.

Saya mendengar tentang penemu-penemu lain yang mematenkan penemuannya. Saya pun berniat untuk mematenkan penemuan saya, walaupun tak seorang pun di Computation Laboratory pernah mematenkan penemuannya. Hal itu saya rundingkan dengan Lorraine. Sebetulnya ia lebih banyak tahu tentang Shakespeare daripada tentang Newton atau Einstein, tetapi Lorraine mendukung sepenuhnya niat saya.

Saya membicarakan kemungkinan itu dengan orang-orang dari administrasi Harvard. Menurut mereka, yang tidak boleh dipatenkan hanyalah penemuan-penemuan yang berkenaan dengan kesejahteraan masyarakat, supaya penemuan itu bisa dimanfaatkan masyarakat seluas-luasnya. Penemuan saya pada masa itu tidak memperlihatkan tanda-tanda ada hubungannya dengan kesehatan masyarakat (padahal kini ternyata pengelolaan kesehatan masyarakat tak mungkin dilakukan tanpa bantuan komputer), jadi mereka menyatakan boleh saja saya mematenkannya asal diurus sendiri. Cuma karena kerja saya dulu diongkosi AU maka AU berhak atas lisensi nonekslusif dari paten itu.

Di lab saya termasuk pendiam. Maka itu teman-teman saya heran, ketika saya menyatakan ingin mematenkan penemuan saya. Mereka menganggap ini tindakan yang berani. Menurut pendapat mereka, Dr. Aiken pasti tidak setuju, sebab semua penemuannya dianggap milik masyarakat. Mereka juga menganggap saya gila karena ingin mematenkan penemuan dalam memory cores. Buat apa?

Ternyata Dr. Aiken sama sekali tidak keberatan. Harvard mengusulkan agar dalam mengurus hak paten itu saya meminta pertolongan kepada langganan mereka, yaitu Pengacara Edgar H. Kent dari Kantor Pengacara Fish, Richardson & Neave di Boston. Bulan September 1949 Kent memperkenalkan kepada saya seorang pengacara muda yang baru lulus, Marty Kirkpatrick. Seperti semua pengacara paten, Marty lulusan sekolah tinggi sains sebelum melanjutkan belajar hukum. Walaupun masa itu komputer tidak banyak dikenal orang, Marty lekas bisa menangkap konsep yang saya kemukakan. Dalam waktu sebulan kami sudah siap meminta paten untuk 'alat-alat pengontrol transfer pulsa'.

Masa itu baik Marty maupun saya tidak menduga bahwa di kemudian hari paten saya itu sangat menguntungkan, sehingga banyak pihak mencoba membajak atau menggugat dan sampai sekarang kami berhasil mengalahkan mereka. Pihak yang pernah berurusan dengan kami dalam soal hukum, antara lain raksasa IBM. Kami berurusan dengan IBM bukan cuma sekali saja.

Mulai berwiraswasta

Ketika komputer mulai muncul di pasaran, Harvard tidak tertarik lagi mensponsori penelitian di bidang komputer. Harvard tidak mau melakukan riset di bidang yang sudah mencapai taraf diterapkan secara komersial (lain dengan MIT). Komputer terakhir yang kami buat di Computation Laboratory di bawah pimpinan Dr. Aiken ialah pada tahun 1951.

Karena Harvard berhenti mensponsori riset dasar komputer, saya tidak tertarik lagi bekerja di sana, walaupun gaji saya lumayan: AS$ 54.000 setahun.

Sejak mematenkan penemuan saya, memang berulang-berulang saya dihubungi oleh para ahli riset yang bekerja di industri maupun akademi. Saya juga menulis pelbagai makalah untuk jumal-jumal ilmiah.

Namun, ketika itu saya sudah tidak tertarik lagi bekerja di perusahaan-perusahaan besar seperti IBM, Hughes Aircraft, atau Remington Rand, walaupun saya yakin bisa mendapat gaji dua kali lipat dibandingkan dengan di lab. Saya juga tidak tertarik untuk mencari pekerjaan atau kedudukan di pusat riset akademis. Saya ingin mandiri.

Penemuan saya telah memberi saya status sebagai ahli digital elektronik. Dari reputasi itu mungkin saya bisa mendapat kepercayaan masyarakat kalau saya membangun bisnis sendiri. Mungkin saya bisa mendapat kontrak-kontrak untuk proyek khusus dalam digital elektronik yang modalnya kecil. Saya hitung-hitung, setahun saya bisa mendapat sekitar AS$ 80.000. Kalau cuma mendapat sekian pun berarti penghasilan saya sudah naik 50%.

Harapan saya ketika itu jauh berbeda dari harapan-harapan orang yang terjun mengadu untung dalam bidang teknologi tinggi dewasa ini. Pada masa itu saya tidak menyangka akan menjadi kaya. Saya juga tidak perlu risau soal modal sebab modalnya kecil dan berasal dari uang saya sendiri.

Saat itu saya berani membuka usaha sendiri, karena saya merasa di tahun-tahun mendatang permintaan akan memory cores meningkat, begitupun kebutuhan akan keahlian dalam digital elektronik. Saya pun mulai membaca buku perihal bagaimana caranya menjalankan bisnis dan bertanya ke sana-kemari selain berunding dengan istri saya.

Modal pertama 600 dolar

Lorraine melahirkan putra sulung kami, Frederick, bulan September 1950. Sepulangnya ke rumah ternyata terjadi komplikasi, sehingga Lorraine dan Fred harus kembali ke Lying-in Hospital. Ternyata tidak ada tempat bagi Fred, sehingga ia 'disimpan' di lemari tempat seprai.

Begitu sibuknya Lorraine mengurus bayi, sehingga katanya ketika itu ia tidak menyadari betapa pentingnya keputusan yang saya buat untuk mendirikan perusahaan sendiri.

Kontrak saya dengan Computation Laboratory berakhir Juni 1951. Ketika bulan April saya mengajukan permintaan untuk tidak memperpanjang kontrak lagi, Dr. Aiken tidak heran, sebab sejumlah rekan lain juga berbuat serupa akibat lab akan meninggalkan riset komputer.

Bulan Juni 1951 itu saya mendapat surat-surat izin untuk mendirikan perusahaan. Saya sering ditanyai orang, mengapa saya menamai perusahaan saya Wang Laboratories, seperti perusahaan obat-obatan saja. Saya memakai nama saya karena saya pemilik satu-satunya. Laboratories diilhami oleh Computation Laboratory, tempat kerja saya yang lama. Laboratories saya tulis dalam jamak karena saya mengharapkan perusahaan itu kelak bisa berkembang. Saat itu saya betul-betul naif. Saya tidak pernah memikirkan penelitian pasar dan sebagainya.

Saya lekas menemukan ruang perkantoran yang sewanya murah, AS$ 70 sebulan di Columbus Avenue, bagian selatan kota Boston. Kantor itu tidak berperabot. Modal saya cuma uang tabungan sebesar AS$ 600. Saya tidak mempunyai order maupun kontrak.

Teman-teman Cina saya menganggap saya nekat. Mereka sangat peka terhadap diskriminasi atas orang-orang Asia. Mereka menganggap saya tidak bijaksana memulai bisnis di bidang yang saya pilih itu. Masa itu orang-orang Cina datang ke AS untuk melanjutkan sekolah, kemudian memilih perguruan tinggi sebagai arena untuk membuktikan kemampuan dirinya. Puncak kesuksesan adalah menjadi guru besar penuh di universitas terkemuka.

Sesudah perusahaan saya maju, baru beberapa di antara mereka mengikuti jejak saya, di antaranya dua kakak-beradik dari keluarga Li. Tadinya mereka profesor di MIT.

Saya sadar pada masa itu ada diskriminasi tertentu terhadap orang-orang Cina, namun di masyarakat Cambridge yang kosmopolitan istri saya dan saya tidak terlalu merasakannya, meskipun saya pernah ditolak menyewa apertemen karena saya orang Cina. Kalau saya mengalami diskriminasi seperti itu, saya anggap hal itu sebagai kenyataan hidup yang tidak mengenakan, lalu saya berusaha meningkatkan lagi usaha saya untuk sukses. Saya ingin menunjukkan bahwa orang Cina bisa mencapai hal-hal lain selain membuka binatu atau restoran.

Namun, salah sekali kalau Anda menganggap saya mendirikan Wang Laboratories untuk membuktikan hal itu. Saya mendirikan perusahaan terutama karena hal itu tindakan yang bijaksana.

Jelas banyak peneliti lain yang melihat kesempatan yang sama dengan saya. Bedanya sebagian besar tidak bertindak. Memang penting untuk mengumpulkan fakta dan menganalisisnya, namun dunia ini hanya bisa dibentuk dengan tindakan dan untuk mengambil tindakan perlu rasa percaya diri.

Semua kegiatan dicatat

Saat ini, 35 tahun setelah mendirikan perusahaan, orang masih terusmenerus mempertanyakan: mampukah Wang Laboratories bertahan dalam persaingan dengan raksasa IBM? Jawaban saya ialah kesempatan Wang Laboratories untuk bertahan pada tahun 1951 dan kesempatannya berkembang sampai ukuran sekarang ini, jauh lebih kecil dibandingkan dengan kesempatannya untuk berhasil dalam bersaing dengan IBM sekarang.

Pada tahun-tahun terakhir ini banyak ilmuwan meninggalkan kampus yang aman untuk terjun ke bisnis teknologi tinggi. Pada tahun 1951 keadaan sangat berbeda. Kalau ada peneliti meninggalkan kampus, kemungkinan besar bukan untuk membuka usaha sendiri, tetapi untuk bergabung dengan perusahaan-perusahaan besar.

Tanggal 30 Juni 1951 saya mengendarai Buick saya yang keluaran sebelum perang itu ke 296 Columbus Avenue, untuk memasuki ruangan berukuran 18,5 m2 yang kosong melompong. Inilah kelak yang akan menjadi kantor pusat bisnis dari Wang Laboratories.

Yang pertama saya lakukan ialah membeli sebuah meja dan kursi serta memasang telepon. Dengan modal tiga buah benda itu saya siap melakukan bisnis. Supaya bisa menghubungi orang-orang yang mungkin berminat membeli Delta-max memory cores saya, saya meminjam buku dari perpustakaan Harvard yang isinya alamat laboratorium-laboratorium penelitian industri maupun pemerintah dan tokoh-tokohnya. Secara cermat saya menghubungi mereka entah dengan telepon, entah dengan selebaran yang saya kirim dengan pos. Selebaran itu saya buat di percetakan kecil dekat kantor saya.

Saya mempunyai sejumlah kenalan di universitas-universitas berkat hasil penelitian saya di bidang cores dulu dan merekalah yang pertama saya hubungi. Banyak universitas dan pusat penelitian tertarik pada magnetic cores sebagai alat penyimpan informasi, jadi saya mengharapkan mereka memesan cores untuk dipakai dalam percobaan-percobaan.

Saya juga menulis surat kepada Departemen Perdagangan, meminta daftar yang mereka sebut sebagai REPs (requests for proposal) untuk kemungkinan ikut tender.

Saya juga mengembangkan gagasan-gagasan yang saya anggap berguna sebagai alat hitung digital yang bisa merekam, mencatat dan menunjukkan data. Pada masa itu belum ada alat-alat listrik, selain komputer, yang bisa menyimpan dan memanggil kembali data. Jadi saya pikir magnetic cores saya bisa dimanfaatkan untuk pelbagai alat.

Seperti di tempat kerja saya yang lalu, saya selalu mencatat kegiatan, ide-ide dan proyek saya. Semua itu saya tulis dalam bahasa Inggris. Saya mempunyai kebiasaan mencatat dan merundingkan bisnis maupun gagasan ilmiah dalam bahasa Inggris. Namun, berhitung dan berpikir tentang hal-hal lain saya lakukan dalam bahasa Cina.

Tiga minggu setelah membuka kantor, saya mulai menerima surat-surat jawaban. Saya menjual cores seharga AS$ 4 sebuah. Harga itu mahal sekali kalau dibandingkan dengan sekarang. Kalau datang pesanan empat cores saja sehari saya sudah sangat senang.

Rezeki nomplok dari Harvard

Karyawan pertama saya ialah seorang pemuda yang belajar seni periklanan di Boston University, Bob Gallo. Selain mengerjakan cores, Bob juga melayani tamu kalau saya sedang keluar.

Kemudian para tamu mulai banyak berdatangan. Bob yang waktu itu masih muda sekali terkesan ketika harus menghadapi para eksekutif dari perusahaan-perusahaan, para pejabat pemerintah dan bahkan para jenderal yang datang dikawal ajudan. la menyuguhkan kopi dan berusaha mengelakkan percakapan yang mengarah ke bisnis sambil menunggu saya datang. Bob pikir, perusahaan tempatnya bekerja rupanya tidak terlalu memble juga.

Gajinya waktu itu AS$ 55 sen sejam. Saya memintanya membuatkan logo kami yang pertama, sebab ia seniman. Logo itu selesai dalam waktu relatif singkat, kalau dihargai dengan uang cuma kurang dari AS$ 3. Padahal zaman sekarang logo sering dibayar puluhan bahkan ratusan ribu dolar, karena didesain berdasarkan penelitian. Logo itu kami pakai sampai hampir dua puluh tahun lamanya.

Pada bulan pertama saya memakai AS$ 200 uang tabungan saya. Berarti sisanya AS$ 400 lagi. Untunglah sebelum bulan itu berakhir, order mulai 'menetes' secara terus-menerus.

Beberapa bulan kemudian rezeki lain datang. Tahun 1950 Harvard mulai menerapkan dana pensiun bagi karyawannya. Ketika saya keluar pertengahan 1951, dana pensiun saya sudah berjumlah kira-kira AS$ 2.000. Harvard tidak mau mengurus jumlah uang yang tidak berarti itu selama jangka puluhan tahun, jadi mereka menyarankan kepada saya agar mengambilnya saja. Dengan senang hati saya melaksanakannya. Akibatnya uang saya bertambah. Saya pikir sedikitnya saya bisa bertahan setahun. Kalau setelah setahun perusahaan saya tidak bisa dipertahankan, saya bisa mencari pekerjaan.

Pentingnya pendidikan anak-anak

Pada masa memulai usaha saya itu, Fred, anak sulung saya, berusia sembilan bulan. Lorraine dan saya mempunyai dua anak lagi, yaitu seorang putra yang kami namai Courtney dan seorang putri, Juliette. Selama itu Lorraine menyibukkan diri mengurus anak-anak kami. Keluarga Cina di AS selalu menekankan prestasi sekolah yang tinggi, maka Lorraine mengawasi pelajaran dengan saksama.

Lorraine berpendapat sekolah negeri dekat rumah kami kurang mutunya. Kami sepakat menyekolahkan Fred di sekolah Swasta Shady Hill School di Cambridge, walaupun uang sekolahnya AS$ 800 setahun, yaitu AS$ 200 lebih banyak dari pada uang yang saya miliki pada saat memulai membangun Wang Laboratories. Ketika itu tahun 1953 dan saya masih tetap harus mengetatkan ikat pinggang.

Walaupun kami sangat memperhatikan pendidikan anak-anak kami, namun kami tidak mau menggiring mereka ke suatu tujuan yang kami tentukan. Kami tidak memaksa belajar kebudayaan Cina umpamanya, walaupun kami tidak mau mereka melupakan nenek moyang. Kami juga tidak mau mengungkung atau membuat mereka patuh secara membuta. Betapapun juga mereka itu hidup di Amerika yang memerlukan kebebasan. Independen, itulah ciri yang ingin kami pupuk pada mereka.

Pada saat Fred lahir, Lorraine dan saya masih berkewargangaraan RRC (yang bermusuhan dengan AS). Pertengahan tahun '50-an RRC mempertimbangkan kebijaksanaan meminta mantan mahasiswa mereka yang belajar di AS setelah revolusi dipulangkan. Kami dihubungi para pejabat AS yang menawarkan kesempatan untuk menjadi warga Negara AS. Maka tanggal 18 April 1955 Lorraine dan saya menjadi WN Amerika dengan naturalisasi. Fred langsung menjadi warga negara AS sebab ia lahir di AS.

Hati-hati tetapi optimis

Pada masa itu saya tidak punya ambisi untuk membuat komputer. Mungkin kalau ada uangnya saya mau juga, namun masa itu saya tak mau orang luar membiayai saya, sebab nanti saya repot karena harus mempertanggungjawabkan setiap tindakan saya kepada investor.

Alat apa pun yang saya buat, tujuannya memudahkan para ilmuwan yang kerjanya menghitung, menyimpan, dan menganalisis informasi. Saya berusaha mengetahui apa saja yang mereka perbuat dan apakah saya bisa menciptakan alat untuk membantu mereka. Saya memang senang mendesain dan menciptakan pelbagai mesin digital elektronik. Sebagian besar terbukti tidak praktis, sebagian lagi cuma menghiasi buku catatan saya. Skala kerja saya yang saat itu masih kecil memungkinkan saya membuat kesalahan tanpa mengakibatkan bencana bagi perusahaan. Saya bersikap hati-hati tapi optimis. Sampai sekarang.

Bulan Desember 1951 saya mendapat kesempatan mendemonstrasikan penemuan-penemuan saya kepada umum di pameran dagang. Stan saya yang cuma terdiri atas satu meja cukup banyak menarik pengunjung. Pameran itu ternyata mendatangkan pesanan-pesanan, sehingga saya memutuskan untuk ikut pameran-pameran lagi. Untuk menambah penghasilan, saya juga memberikan ceramah-ceramah yang honornya AS$ 12 per ceramah.

Makin lama saya makin sering mendapatkan kontrak untuk merancang peralatan digital khusus. Banyak proyek itu merupakan subkontrak dari dana bantuan yang diberikan pemerintah. Saya pun memerlukan tambahan tenaga maka saya mulai mengupah para mahasiswa.

Bukan berarti semuanya berjalan dengan lancar. Intimidasi yang dijalankan IBM harus saya hadapi dengan tabah bersama pengacara saya, Marty Kirkpatrick. Namun, saya selalu menganggap kesalahan dalam bisnis maupun teknologi sebagai hal yang tidak bisa dihindarkan, yang harus dianggap sebagai umpan balik berharga untuk menemukan jalan yang benar, asal saja jangan mengancam masa depan. Kalau ingin maju, kita harus menanggung risiko untuk kalah. Lagi pula saya bukan orang yang menyesali masa lalu. Kalau sampai terjadi juga kesalahan, yang bisa dilakukan ialah memperkecil kerugian.

Saya sih luwes saja terhadap apa yang dikerjakan karyawan dan bagaimana cara ia mengerjakannya. Mereka juga boleh pindah dari posisi satu ke posisi lain dengan mudah. Biarlah kekuatan mereka tampak. Mereka boleh mengemukakan pendapat dan boleh maju tak peduli apapun asalnya. Saat ini di Wang Laboratories terdapat lebih dari seorang wakil presiden direktur yang asalnya sekretaris atau asisten.

Tanah 34 ha untuk 35 karyawan

Tahun 1963 perusahaan kami sudah memerlukan akuntan penuh waktu dan tahun berikutnya kami pindah ke Tewksburry, ke bekas sebuah tanah pertanian yang kurang subur. Banyak orang berpikir, untuk apa saya membeli tanah seluas 34 ha, kalau jumlah karyawan perusahaan cuma 35 orang. Masa itu saya sebetulnya saya sudah memikirkan ekspansi. Saya pikir siapa tahu perusahaan saya kelak akan mempunyai karyawan seratus orang. Ternyata dua tahun kemudian jumlah karyawan sudah melebihi angka itu .

Pada tahun 1964 kami berhasil membuat kalkulator logaritma. Kami maju berkat kalkulator meja dan selalu berusaha memberi aspek-aspek inovatif pada produk kami. Saya berpendapat perusahaan jangan berkembang lebih cepat daripada yang bisa dikelolanya, namun jangan pula mengabaikan kesempatan untuk berkembang. Perusahaan yang gigih mengembangkan produk-produk baru dengan sendirinya akan menemukan kesempatan untuk maju. Namun, melihat kesempatan itu saja percuma. Pimpinan harus menilai, gagasan mana yang patut diberi modal besar dan bagaimana cara menangani pasar untuk barang tersebut. Sering keputusan-keputusan itu mengubah cara usaha yang selama ini diterapkan oleh perusahaan.

Umpamanya saja kalkulator tadinya hanya untuk pasar tertentu, yaitu kalangan ilmuwan. Namun, kemudian tampak pasaran potensial yang lebih luas, yaitu kalangan bisnis dan orang-orang tanpa latar belakang sains dan tak pernah belajar komputer. Pasar itu berbeda sekali dengan yang ada sebelumnya. Kalkulatornya pun harus dibuat berbeda, yaitu yang lebih sederhana. Akibatnya, kami pun berubah menjadi perusahaan yang sangat berbeda. Pengetahuan akan pemasaran, penjualan dan pelayanan bertambah penting. Tak semua karyawan bisa menyesuaikan diri. Ada yang lantas keluar untuk mencari perusahaan yang lebih mirip labortorium riset (seperti perusahaan kami di awal perkembangannya), ada juga yang bisa ikut berubah dan menyesuaikan diri.

Tentu saja kami harus mempertimbangkan saingan-saingan. Kalkulator untuk orang awam buatan kami, M300, keluar hampir berbarengan dengan kalkulator buatan Friden, yang harganya AS$ 2.195 dan kalkulator lain yang harganya AS$ 1.795. Sebetulnya kami sudah bisa untung kalau menjual M300 dengan AS$ 1.400. Namun, dalam rapat kami putuskan agar M300 dijual AS$ 1.695 saja. Sebab kalau ia dijual jauh lebih murah dari produk saingan, produk kami bisa dikira mainan. Nanti kalau reputasi kami sudah mapan, memotong harga bukan masalah. Ternyata M300 memang membawa banyak rezeki.

Gedung yang kami dirikan di Tewksbury mula-mula cuma 185 m2. Tahun 1966 kami harus menambah fasilitas pabrik sehingga gedung itu diperluas 280 m2. Tahun-tahun terakhir ini setiap dua tahun kami harus memperluas gedung 150%.

Kemudian kami mulai membuat kalkulator-kalkulator lain untuk keperluan khusus, seperti untuk statistik dan sebagainya. Kami juga membuat kalkulator yang semakin kuat dan semakin canggih. Perkembangan selanjutnya membawa kami ke masa untuk membuka divisi-divisi internasional di Inggris, Belgia (pintu Eropa daratan), dan Taiwan.

Terpaksa go-public

Pasaran kami kini 60% masih di AS, 20% di Eropa, dan 20% di tempat-tempat lain. Bagi perusahaan yang pusatnya di AS, wajar kalau pasaran di AS lebih besar, tetapi menurut saya, paling baik kalau pasaran kami bisa 50 : 25 : 25

Membentuk jaringan penjualan menurut saya jauh lebih sulit daripada mendirikan divisi internasional. Jelas jaringan kami yang lama harus disesuaikan, karena perusahaan kami berkembang cepat dan harus mendistribusikan produk secara luas. Jaringan penjualan betul-betul batu ujian bagi kami.

Akibat perkembangan yang cepat, kami butuh modal besar sehingga perusahaan kami go-public awal tahun '80-an, walaupun saya lebih suka kalau perusahaan kami milik saya sendiri. Kalau Wang Laboratories milik saya sendiri, saya bisa lebih bebas mengambil risiko.

Sebagai pendiri saya ingin memiliki wewenang agar anak-anak saya memiliki kesempatan menunjukkan kemampuannya tanpa takut menanggung satu-dua risiko. Memberi kesempatan kepada anggota keluarga untuk mengendalikan perusahaan yang sudah go-public tentu masalah peka. Anak-anak saya harus menunjukkan bahwa mereka lebih bermotivasi tinggi daripada manajer profesional, sebab yang mereka pertaruhkan sebagian besar milik mereka sendiri. Namun, saya tak mau memaksa anak saya agar memimpin perusahaan. Kalau ternyata manajer profesional lebih baik untuk masa depan, maka tak tertutup kemungkinan bagi orang luar untuk mengepalai Wang Laboratories. Betapapun juga yang terpenting ialah kelangsungan perkembangan Wang Laboratories.

Saya mencoba mengajarkan gaya manajerial saya kepada anak saya lewat teladan. Saya juga memberi peluang buat inisiatif individual, bukan menentukan setiap langkah dari pekerjaan yang harus dilaksanakan.

Sejak dulu saya diingatkan orang bahwa perusahaan yang namanya berbau asing kurang menguntungkan. Orang cenderung melakukan diskriminasi. Hal itu diingatkan kembali ketika kami terjun ke pasaran word processor. Saya tidak percaya. Bukankah Du Pont nama Prancis dan Levi Strauss nama Yahudi? Bukankah nama-nama itu tidak mengalangi perkembangan mereka?

Para karyawan Wang yang membeli saham Wang ternyata juga memiliki keyakinan bahwa Wang akan tumbuh. Siapa tahu akan menjadi seperti Xerox, pikir mereka saat itu. (Tak terpikir oleh saya bahwa harga saham Wang di bursa kelak akan melebihi harga saham Xerox.)

Wang yang dikenal sebagai perusahan kalkulator harus menghasilkan mesin-mesin yang lebih canggih untuk bisa maju terus. Alasannya, sampai berapa lama kalkulator bisa bertahan. Jadi suatu saat timbul gagasan: bagaimana kalau kami mengembangkan komputer?

Permulaannya memang sulit. Word processor baru membawa rezeki besar kepada Wang di akhir 1972. Namun tahun 1975 Wang mengalami guncangan keuangan akibat krisis minyak tahun 1974. Kami juga berhadapan dengan IBM dalam tender untuk memasang sistem MIS di pangkalan AU AS seluruh dunia. Temyata kami menang. Kemenangan itu besar pengaruhnya bagi moral karyawan.

Kesetiaan dibayar dengan kesetiaan

Perusahaan terdiri atas manusia. Kalau moral sedang baik, karyawan sering berprestasi lebih dari yang diharapkan. Kalau moral sedang buruk, organisasi yang paling cemerlang pun bisa tidak produktif. Kami ini perusahaan teknologi tinggi, yang mempekerjakan segala macam orang, mulai insinyur yang melakukan riset sampai tenaga penjual dan sekretaris. Gaya kerjanya berbeda-beda, kebutuhannya juga berbeda-beda, sehingga harus ditangani berbeda pula oleh manajemen agar moral dan prestasinya terpelihara.

Sering para ahli kami yang kreatif merupakan priomadona yang sulit diatur. Dalam struktur manajemen normal pasti mereka tak cocok, padahal mereka itu penting buat mengembangkan produk kami. Karena saya memiliki latar belakang digital elektronik, saya bisa berbicara dalam bahasa mereka. Saya berusaha agar dua primadona yang tidak cocok jangan bertemu, tetapi mereka tahu bahwa ada orang "di atas' yang mengerti dan menghargai sumbangan mereka.

Saya yakin kesetiaan harus dibayar dengan kesetiaan juga. Perusahaan dan pimpinan memerlukan orang yang bisa dipercaya. Salah satu rahasia Wang bisa bertahan dan berkembang selama puluhan tahun tanpa skandal dan malapetaka ialah berkat orang-orang yang setia seperti Marty Kirkpatrick, yang memberi saran-saran sehat, Chuc Gooddhue, Bill Pechilis, dan banyak lagi.

Ketika mengawali bisnis tahun 1951 pasti tidak ada orang yang menganggap saya sebagai calon yang tepat untuk menjalankan bisnis senilai AS$ 2,5 miliar. Karyawan saya pun banyak yang seperti saya, yaitu tumbuh bersama perusahaan kami. Moral di suatu perusahaan ditentukan sebagian besar oleh cara karyawan melihat tingkat-tingkat manajemen diduduki oleh orang-orang lama. Tak banyak orang yang diambil dari luar, tak banyak lulusan MBA baru yang dijagokan, sebab sering lulusan MBA yang baru keluar dari tempat pendidikan cuma memikirkan kesempatan secepat-cepatnya untuk menjadi presiden direktur suatu perusahaan, bukan mencintai bisnis dan perusahaan tempatnya bekerja. Tentu saja kami juga merekrut para MBA, namun mereka harus membuktikan kesanggupannya dulu seperti yang lain.

Karena kami terus berkembang, kami juga harus selalu menerima karyawan baru. Manusia memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri pada kultur dan struktur perusahaan, jadi kami tidak segera membebani mereka dengan harapan-harapan besar.

Perkembangan perusahaan cenderung memberi tanggung jawab baru kepada karyawan, termasuk yang tetap berada di tingkat yang sama. Kalau mereka bekerja dengan baik saya akan melakukan segala usaha agar mereka memperoleh kedudukan baru yang cocok dengan kemampuannya. Kami tak kehilangan banyak karyawan, karena ambisi mereka tidak ditekan secara tidak fair.

Moral karyawan juga dipengaruhi oleh imbalan materi. Jika karyawan dituntut oleh perusahaan untuk menjadi budak yang diberi gaji, mereka akan memberi imbalan yang setimpal. Karena itulah kami juga memikirkan kesejahteraan mereka, termasuk jaminan masa tua.

Saya sendiri belum lama mempunyai sopir. Di masa yang lalu saya cuma memiliki dua setelan. Dulu setelan saya baru diganti kalau sudah usang. Kalau ada waktu luang, saya membaca supaya bisa mengikuti perkembangan teknologi dan dunia. Saya juga senang berpikir.

Saya pikir, manusia dan perusahaan sama saja. Saya bertanggung jawab kepada pelanggan, karyawan, penjual, pemegang saham dan masyarakat. Perusahaan begitu juga. Jadi secara pribadi maupun atas nama perusahaan saya memperhatikan kebutuhan masyarakat di sekitar Boston, yaitu masyarakat yang paling dekat dengan kami.

Kami mendirikan kampus, menyumbang Museum of Science, Museum of Fine Arts, The Boston Symphony, Boston Ballet, Metropolitan Center, Massachusetts General Hospital, dll. Siapa tahu orang kaya baru di bidang yang sama dengan saya akan ikut menyumbang.

Tahun 1986 saya menerima Medali Liberty. Ada dua belas orang AS kelahiran luar negeri yang menerimanya, antara lain arsitek I.M. Pei, Dr. Albert Sarbin, penemu vaksin polio oral dan Irving Berlin, sang komponis. Hal itu mencerminkan semangat Amerika yang selalu siap menghargai sumbangan para anggota barunya.

Masyarakat Amerika memang tidak sempurna, tetapi masyarakat Amerika memberi saya kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin saya lakukan untuk mengubah gagasan menjadi kenyataan. Kesempatan itu mendorong timbulnya gagasan-gagasan baru lagi tanpa ada hentinya dan saya merasa masih banyak hal yang perlu saya pelajari.

Dalam PerspektifWang Laboratories mencapai puncak kejayaannya di tahun '80- an. Pada masa itu penghasilan perusahaan mencapai AS$ 3 miliar/tahun dengan jumlah katyawan lebih dan 30.000 orang. Tetapi setelah itu perusahaan ini mengalami kemunduran. Ada pelbagai pendapat mengenai penyebabnya.

Salah satu yang paling keras terdengar adalah bersikerasnya An Wang untuk mendudukkan anaknya, Fred Wang, sebagai penggantinya. Seperti sudah diungkapkannya dalam memoirnya, ini suatu keinginan yang wajar saja bagi seorang pendiri perusahaan. Meski Fred diakui sebagai lulusan sekolah bisnis yang pintar dan cerdas, ia dinilai tak sesuai dengan posisi yang diberikan oleh ayahnya.

Setelah diangkat menjadi kepala Riset & Pengembangan pada tahun 1983, pada tahun 1986 ia diangkat menjadi presiden direktur perusahaan Wang Laboratories. Perusahaan lalu mengalami kemunduran. Pada tanggal 4 Agustus 1989 An Wang terpaksa memecat anaknya. Kemunduran itu terus berlanjut sampai perusahaan harus mengajukan permohonan perlindungan terhadap kebangkrutan pada 18 Agustus 1992. Ketiga gedung menara Wang di Lowell dijual dengan harga merugi, jauh di bawah ongkos pembangunannya.

Namun 1-2 tahun kemudian Wang berhasil bangun dari kondisi kebangkrutannya dengan kembali memegang modal AS$ 200 juta. Wang melakukan langkah-langkah akuisisi dan penemuan kembali jati diri Wang Laboratories. Pada tahun 1990-an Wang telah menempatkan diri secara mantap pada pilihan wilayah pasar bisnisnya "network services". Namanya pun diubah menjadi Wang Global.

Pada tahun 1999 Wang Global, saat itu berpenghasilan AS$ 3,5 miliar, diakuisisi oleh Getronics N.V, sebuah perusahaan Belanda.