Intisari-Online.com - Hidup di dunia pertunjukan tak semudah apa yang biasa kita lihat. Pencekalan dan bujuk rayu popularitas serta kekayaan jadi tantangan sang pendiri Teater Koma, Nano Riantiarno. Bagaimana ia menghadapinya? Dunia pertunjukan memang bermuka dua. Kadang ia manis dan baik hati, tapi kadang ia muram dan kejam. Itu pula yang dialami oleh Nobertus Riantiarno atau yang lebih akrab dipanggil Nano Riantiarno. Pendiri Teater Koma itu mengerti betul lika-liku hidup di dunia pertunjukan. Sepanjang ia berkarya, tak pernah sekalipun keinginan untuk menyerah keluar dari lubuk hatinya.
Tahun 1970, Nano bersama Teguh Karya menghasilkan film pertama mereka, yaitu Wadjah Seorang Laki-Laki yang dibintangi oleh Rima Melati dan WD Mochtar. Film itu menunjukkan kecintaan dan totalitas Nano dalam seni pertunjukan. Bersama dengan rekan-rekan lainnya, Nano mempersembahkan honor mereka untuk menunjang biaya produksi. Walau film tersebut tak laku, Nano tak menyesal.
Sewaktu Teguh Karya mulai hanyut dalam dunia perfilman, Nano mulai meninjau kembali tujuan hidupnya. “Saya datang ke Jakarta bukan berarti tidak ingin punya pengalaman dalam bidang film, tapi saya datang ke Jakarta tidak menjadi orang film,” ujar suami Ratna Riantiarno ini. Kegalauan itu disalurkannya dengan mengelilingi Indonesia selama 6 bulan lebih. Perjalanan itu membawanya kembali bersemangat untuk membangkitkan dunia teater.
Tahun 1976, Nano bersama dengan istrinya dan seorang sahabat, yaitu Achmad Syaeful Anwar bersepakat untuk membuat sebuah kelompok teater. Bertiga mereka mengumpulkan 12 orang lainnya untuk menjadi anggota pertama. Lalu, 1 Maret 1977, Teater Koma lahir. Nama Teater Koma sendiri memiliki semangat untuk tak pernah berhenti berkarya. “Itulah kenapa namanya Teater Koma,” tambah Nano.
Pertunjukkan pertama Teater Koma tanggal 2-4 Agustus 1978, yaitu "Rumah Kertas" ternyata terbilang sukses. Namun Nano menemukan fakta, para penonton mendapatkan tiket gratis dari dua rekannya, yaitu Rima Melati dan Titi Qadarsih. Hanya saja, para penonton justru merasa malu mendapat tiket gratis, karena pertunjukkan yang disuguhkan Teater Koma sangat bagus.
Pertunjukkan kedua "Rumah Kertas" juga menjadi catatan tersendiri dalam sejarah Teater Koma, karena itulah pertama kalinya Teater Koma dicekal di Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya. Beberapa pementasan berikutnya di tahun '89, '90, dan '91 juga dicekal oleh pihak berwajib.
Dari semua pencekalan pementasan yang pernah dialami Teater Koma, mungkin pencekalan "Opera Kecoa"-lah yang paling membekas di hati Nano. Saat itu, Nano dan tim Teater Koma diundang ke Jepang untuk mementaskan "Opera Kecoa" di beberapa kota. Namun sungguh sayang, harapan untuk tampil di Negeri Matahari Terbit harus pupus, sebab pemerintah bersikeras untuk melarang "Opera Kecoa" ditampilkan.
Selain kenyang dicekal, Nano juga kenyang diinterogasi oleh pihak-pihak berwajib. Sebelum pementasan "RSJ" (Rumah Sakit Jiwa) misalnya, Nano harus menghabiskan waktu di Kodam Jaya selama sehari untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sekitar naskah "RSJ". Begitu pula halnya saat harus mementaskan "Suksesi" di tahun 1990, Nano harus diinterogasi selama 10 hari di Markas Besar Kepolisian yang terletak di Senayan.
Namun, di antara banyak pencekalan dan interogasi, ada pula kisah-kisah haru yang memberi Nano kekuatan untuk terus melanjutkan Teater Koma. Saat "Suksesi" dicekal misalnya, banyak penonton yang tak meminta uang mereka kembali. “Bahkan ada yang datang bukan mengambil duit, tapi bawa makanan, buah, dan kue. Itu buat saya nangis bener-bener,” ujar Nano sambil mengenang.
Kenangan mengharukan juga Nano alami saat pementasan "RSJ" di tahun '90. Seorang pria dengan istri dan dua anak datang kepadanya dan menjabat tangan Nano dengan erat. “Dia bilang pada saya, ‘Saya akhirnya ketemu juga ya Pak Nano. Kalau boleh saya bilang, saya bahagia hari ini, karena saya nonton sebagai orang bebas,'” ujar Nano menirukan kembali ucapan pria yang ditemuinya 12 tahun lalu itu. Selidik punya selidik, ternyata pria tersebut adalah petugas yang diperintahkan untuk mengikuti gerak-gerik Nano dari tahun 1978 sampai tahun 1990!
Yang membuat Nano terharu, sang pria yang ditemuinya itu ternyata tak pernah memberi laporan buruk tentang pementasan-pementasan yang Nano lakukan. Pria itu selalu memberi laporan, “Pak Nano itu tidak jahat, Pak Nano cuma nakal,” ujar Nano sambil terkekeh.
Tekad Nano untuk mempertahankan Teater Koma memang patut diacungi jempol. Namun tekad itu tak akan ada tanpa adanya cinta. “Saya mengerjakan semuanya dengan cinta, dan cinta memberi banyak reward kepada saya. Itu membuat saya yakin, di sini dunia saya. Di sini saya bisa berbuat sesuatu dan bermanfaat bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga orang lain,” ujarnya.