Namun, diantara ketakjuban itu, muncul rasa khawatir dalam diri Endi. Ia merasa, eksistensi gasing bisa terancam bila dibiarkan begitu saja. “Wah ini gawat kalau didiemin. Bisa abis ini,” ujarnya. Dari kekhawatirannya itu, timbul niat jahil untuk membeli beberapa gasing daerah yang menurutnya unik.
Beruntung Endi berhasil membeli beberapa gasing dari beberapa daerah seperti DKI Jakarta, Bali, dan Pontianak. Pemain gasing dari Lombok bahkan mau memberikan gasing miliknya kepada Endi. Mulai saat itulah Endi bertekad untuk mengoleksi gasing di seluruh Nusantara.
Dari Sabang, belum sampai Merauke
Walau sudah berjumlah ratusan buah, Endi mengaku koleksi gasingnya belum lengkap seratus persen. Ada beberapa daerah yang gasingnya belum ia miliki, terutama yang berasal dari wilayah Indonesia timur. Sebagian besar gasing milik Endi memang berasal dari Indonesia bagian barat. Itupun diakuinya belum lengkap seratus persen. Yah, maklum saja, sebab setiap provinsi, daerah, bahkan desa memiliki gasing sendiri-sendiri.
Gasing memang memiliki banyak variasi. Endi menyebutkan, variasi-variasi ini dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu nama, bentuk, bahan, dan cara memainkannya. “Di Ambon, Manado itu bisa lebih dari 30 jenis. Di Jawa Tengah misalnya di Demak itu beda dengan di Pati, beda lagi dengan yang di Jepara,” ujarnya.
Sebutan untuk gasing di masing-masing daerah pun unik-unik. Di Yogyakarta, gasing disebut pathon, di DKI Jakarta disebut panggal. Masyarakat Bali menyebut gasing dengan magasing, dan masyarakat di kepulauan Riau, menyebutnya gasing secara wajar. Endi mencatat dan mengorganisir jenis-jenis gasing miliknya berdasarkan sebutan-sebutan ini.
Bentuk gasing di masing-masing daerah juga bervariasi. Endi sendiri memiliki berbagai macam bentuk gasing, mulai dari bentuk jantung, piringan terbang, jamur, guci, tabung, sampai yang bulat tak beraturan. Variasi bentuk ini bergantung pada material yang digunakan untuk membuat gasing tersebut. Uniknya, di beberapa tempat seperti Lombok, bentuk gasing justru berevolusi dari jantung, guci, dan akhirnya menjadi piringan terbang. Endi sendiri memiliki seluruh bentuk evolusi gasing Lombok.
Endi menambahkan, masyarakat lokal memilih untuk menggunakan kayu-kayu yang ada di sekitar mereka. Mayarakat pesisir misalnya, menggunakan buah bitanggur (nyamplung) untuk membuat gasing. Sedang mereka yang tinggal di hutan atau dataran tinggi menggunakan kayu-kayu dari pohon lokal, seperti petai cina, lemon, tewel, jati, jambu biji, dan banyak lagi. Dengan mengenali bahan baku gasing, maka daerah asal gasing bisa dikenali.
Lain bentuk lain pula kegunaan. Bentuk-bentuk gasing yang berbeda bukan tanpa maksud dan tujuan. Bentuk jantung atau guci misalnya, biasa digunakan untuk permainan adu benturan. Gasing untuk adu benturan sendiri terdiri dari dua tipe, yaitu penahan dan pemukul. Cara bermainnya, gasing pemukul harus bisa memukul keluar gasing penahan yang sudah berputar terlebih dahulu.
Berbeda dengan bentuk jantung dan guci, gasing piring terbang biasanya digunakan untuk adu lama berputar. Gasing yang bentuknya pipih, besar, dan berat ini memang bisa berputar dalam waktu yang lama. Kabarnya, ada gasing piring yang bisa berputar hingga 24 menit. Wow! Gasing-gasing jenis ini biasanya dimainkan oleh orang-orang dewasa, sebab berat badan gasing dan besar tali yang digunakan untuk menariknya.
Selain untuk adu benturan dan adu lama berputar, masyarakat Yogyakarta mengenal adu bunyi gasing. Gasing yang terbuat dari bambu berbentuk tabung dengan lubang kecil di badannya itu akan mengeluarkan bunyi saat berputar. Gasing yang mengeluarkan bunyi terkeras, itulah pemenangnya!
Ada cerita menarik sewaktu belajar memainkan gasing ini. Endi yang lahir di Blora, tapi besar di Salatiga, Jawa Tengah itu, awalnya hanya memainkan gasing bambu dari Yogyakarta saja. Namun semenjak mengoleksi gasing-gasing dari Nusantara, ia pun harus belajar memainkan semua tipe gasing. “Belajar dari pemain-pemain daerah di Festival Gasing itu, terus praktiknya waktu kita pameran di Menteng Huis. Nah selama satu setengah bulan pameran, kita main gasing terus setiap hari,” ujar mantan manajer Iwan Fals itu sambil tertawa.
Karena bentuknya bervariasi, maka tak heran cara melemparnya pun jadi bervariasi. Ada tiga tipe lemparan gasing yang dikenal pemain gasing Indonesia. Lemparan atas, yang biasa digunakan untuk adu benturan, lemparan samping untuk adu lama berputar, dan lemparan bawah untuk lemparan biasa.
Cerminan hidup seimbang
Mengoleksi gasing bukan soal mudah. Beberapa kali Endi harus menyempatkan pergi ke tempat-tempat yang jauh dari perkiraannya. Untuk mendapat sebuah gasing Lombok misalnya, ia pernah harus melakukan perjalanan ke sebuah desa yang terletak di atas gunung. Perjalanan yang memakan waktu satu hingga dua jam itu dilakoninya karena kecintaannya terhadap mainan yang mampu melawan hukum gravitasi itu.
Jarak juga bukan satu-satunya masalah. Ketidaktahuan penduduk lokal soal keberadaan mainan tradisional juga menjadi kesulitan berikutnya. Beberapa penduduk daerah lokal ada pula yang tak mengenal gasing. “Saya kalau nyari gasing bisa berkali-kali nanya. Meski nanya ke orang-orang tua, belum tentu tahu juga,” tambahnya.
Sudah tujuh tahun Endi mencari dan mengumpulkan gasing dari seluruh pelosok Nusantara. Waktu yang tak singkat itu membuatnya belajar banyak tentang mainan tradisional yang satu ini. “Kalau menurut aku gasing itu 'kan selalu seimbang ya. Gasing bisa muter lama, karena dia seimbang. Sama dengan kehidupan manusia, kalau hidup manusia seimbang, itu hidupnya akan lama. Artinya kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani, keadaan jasmani, keadaan rohani seimbang, itu bisa gak gampang sakit, terus semangat,” ujarnya sambil tersenyum.
Gasing menurut Endi juga menggambarkan keadaan ekonomi masyarakat. Keadaan ekonomi masyarakat yang ideal seharusnya seperti gasing. Yang miskin seharusnya jumlahnya sedikit dan berada di bawah.
Walau tak bisa diklaim milik Indonesia, Endi berharap gasing Indonesia tetap dilestarikan. Ia berani bertaruh, Indonesia memiliki jumlah dan varian gasing terbanyak di dunia. Menurutnya kekayaan ragam gasing-lah yang menjadi harta Indonesia sesungguhnya. Maka tak heran Endi masih ngotot agar putaran gasing Indonesia bisa diakui hingga ke seluruh dunia. “Agar tak diklaim orang lain lagi,” ujarnya menutup sambil tersenyum.