Intisari-Online.com - Meski harus menghadapi hinaan serta teror yang tak terperi, tidak menyurutkan niat Pendeta Jacklevyn Manuputty untuk terus menyerukan perdamaian. Konflik yang berlangsung dalam kurun waktu 1999 hingga 2003 itu menjadi agenda pendeta yang kini berusia 47 tahun tersebut.
Perannya yang paling menonjol adalah aktif dalam proses yang berujung pada penandatanganan perjanjian Malino II pada Februari 2002. Perjanjian ini sendiri dianggap sebagai barometer awal meredam konflik yang berkepanjangan.
Setelah konflik benar-benar berakhir pada 2004, Jacky tak lantas berhenti sembari duduk manis. Beberapa program ia gagas demi kelanggengan perdamaian. Salah satu aksi yang menyita perhatian dunia adalah ia mewajibkan para pendeta untuk live in di rumah warga Muslim untuk beberapa hari. Bukan untuk menyiarkan Kristen, melainkan untuk lebih mengenal lebih dekat. Harapannya, supaya toleransi dan rasa percaya antaragama tetap terjaga.
Selain itu, Jacky juga berperan dalam penyelesaian konflik Ambon pada 2009 lalu. Kali ini Jacky memanfaatkan anak muda sebagai media kampanyenya. Gerakan yang dia sebut sebagai provokator damai itu melibatkan sekitar 60 pemuda, baik Islam maupun Kristen yang ada di Ambon. Tidak tanggung-tanggung, kelompok ini bekerja selama 24 jam dengan sistem bergilir. Dengan cara itu, Ambon akhirnya kembali kondusif dan aman terkendali. Meski demikian, gerakan provokator damai tak lantas berhenti begitu saja.
Atas inisiatifnya tersebut, tahun 2012 lalu, pendeta dengan kumis tebal itu diganjar dengan penghargaan Tanenbaum dari Tanenbaum Center for Interreligious Understanding yang berlokasi di Amerika Serikat. Sebelumnya, pada 2007 dia lebih dulu mendapat Maarif Award dari Maarif Institute karena dedikasinya untuk perubahan sosial masyarakat menuju perdamaian. (pelbagai sumber)