Intisari-Online.com - Tak mudah bagi Jill Seaman untuk mengantarkan obat-obatan modern kepada warga Sudan Selatan. Ia menghabiskan waktu puluhan tahun untuk menjajaki cara paling efektif agar bisa menghampiri warga di sana yang sedang dikepung perang. Pada 1989, dia tiba ketika salah satu epidemi terburuk tengah melanda Afrika - mulai dari penyakit tropis yang disebut kala-azar - dan perang saudara. Kini perang itu telah usai. Sudan Selatan pun sudah memproklamirkan kemerdekaannya dan epidemi itu mereda. Namun, kekerasan, penyakit, dan rasa takut, masih menghantui kawasan yang telah menjadi rumah kedua bagi Seaman.
Ketika pertama kali tiba di Sudan Selatan, ia menyaksikan lebih dari separuh penduduk kawasan itu tewas. Ia berjalan melalui pedesaan yang penduduknya tidak ada yang selamat. Ia menyaksikan puing-puing yang runtuh karena kebakaran dan menapaki jalan yang dipenuhi tulang belulang yang berserakan. “Namun, tidak ada siapa-siapa. Keadaaan sepi dan mencekam,” kenang dokter asal Amerika Serikat ini.
Ia menganalisis epidemi kala-azar menular karena gigitan lalat pasir yang menyebabkan orang mengalami demam, lesu, dan limpa yang membengkak. Beberapa minggu kemudian pengidapnya bisa mati. Pada 1989, saat ia datang ke Sudan Selatan bersama Doctors Without Borders, tidak ada dokter yang harus merawat di lapangan. Maka ia berpikir perlu penelitian untuk memberikan perawatan canggih dan melakukan diagnosis modern di gubuk lumpur.
Seaman memang tidak berhasil menyingkirkan penyakit itu. Akan tetapi ia menjelaskan, amatlah sulit membandingkan epidemi itu dengan keadaan sekarang, sebab sekarang sudah ada perawatan kesehatan. Namun dalam tiga tahun terakhir, terjadi lagi wabah. Tahun lalu, di menangani 2.500 orang.
Hidup adalah risiko
Selama bertugas, ia menghadapi tantangan yang begitu kompleks bahkan menjurus bahaya. Kliniknya pernah dibom. Toh ia bersikeras bahwa ia bukan penentang marabahaya. “Saya sungguh-sungguh. Saya sangat menyukai perawatan kesehatan dan mencintai Sudan,” ungkap Seaman. Ia dapat bercerita banyak hal mengerikan yang terjadi, seperti pembantaian di sebuah kota yang menewaskan sekitar 200 orang dalam waktu hanya 2 jam. “Tetapi semua itu tidak ada kaitannya dengan mengapa saya ada di sini,” tegas dia.
Banyak kalangan mengkhawatirkan pekerjaannya di sana karena risikonya besar sekali. Akan tetapi Seaman menepis anggapan bahwa pilihan hidupnya ini didorong keberanian mengambil risiko. “Semua orang mengambil risiko. Hidup adalah risiko,” ujar Seaman, mantap. Ia lantas menunjuk semua orang yang tinggal di sana, tetapi ternyata mereka tetap hidup. “Dan saya menolong jutaan orang dan mudah-mudahan juga membantu mereka. Betapa beruntungnya saya.” (National Geographic)