Intisari-Online.com - Zoltan Takacs telah terpikat oleh ular sejak kanak-kanak dan bermukim di Hongaria, hingga kini. Sebagai pakar racun, dia sudah menjelajahi lebih dari seratus negara dan menangkap ribuan reptil. Ia kemudian mengumpulkan bisa dan menapisnya untuk diteliti apakah dapat dijadikan obat penyelamat jiwa. Padahal, dia sendiri alergi terhadap bisa.
Pekerjaan yang mengancam jiwa ini membuat orang-orang menganggapnya ingin mati dengan cara tertentu. Akan tetapi Takacs menepisnya. Ia mencintai hidupnya dan tidak ingin mati. Di rumah, ia mempunyai keluarga yang amat dicintainya. Ia pun harus berhati-hati karena sudah tiga orang rekannya yang tewas dipatuk ular. “Harapan saya tentu saja saya selalu selamat,” ujar farmakolog penggondol gelar doktoral dari Columbia University ini.
Ia sendiri bukannya tak pernah mengalami hal buruk. Tak kurang dari enam kali Takacs dipatuk ular dan, menurutnya, itu karena kesalahannya sendiri. Pertama kali saat usia 15 tahun. Yang terakhir kali di kawasan Amazon Brasil pada 2008. Beruntung, karena ular yang mematuknya tak selalu berbisa. Kendati begitu, ia pernah mengalami reaksi alergi yang mengerikan di sebuah kawasan terpencil.
Lantas, apa yang menyebabkannya berani menghadapi risiko itu?
Satu hal yang menjadi ambisi Takacs: mengubah racun menjadi obat yang bermanfaat. Racun sudah menghasilkan selusin obat, kata dia, dan beberapa di antaranya bahkan menyelamatkan jiwa. Misalnya, jika kita menghadapi serangan jantung mematikan, ada tiga obat pilihan, dan dua di antaranya berasal dari bisa reptil. Takacs mencatat, terdapat seratus ribu spesies satwa berbisa yang menghasilkan 20 juta jenis racun. “Bayangkan betapa banyaknya yang berpotensi menjadi obat,” begitu kata dia, meyakinkan.
Jelas tak mudah bagi Takacs untuk mewujudkan ambisinya. Selama di lapangan, hampir tak ada hari yang normal. Ia kerap mengunjungi tempat-tempat terpencil di Bumi dan tidur di belantara atau gurun. Tantangannya beragam: mulai dari infeksi hingga buaya, dari perang saudara hingga longsor dan perompak. Ia bahkan pernah dijebloskan ke penjara, dikejar gajah, dan disembur bisa ular kobra.
Namun sebagai peneliti, ia tidak menganggap bahwa kerja lab lebih membosankan dibanding kerja lapangan. Bagi dia, kerja lab justru memberi makna tentang kerja di lapangan yang dilakukannya. Bersama timnya ia menyaksikan ulah alam selama ratusan juta tahun. “Kami meneliti hasilnya dan mengutak-atik racun itu untuk dijadikan obat yang bermanfaat,” papar Takacs. Karena itu, pertama-tama, dia harus mendapatkan racunnya dulu. Satu-satunya cara adalah dengan terjun langsung: naik pesawat, menjelajahi belantara, dan menghabiskan malam dengan berburu ular berbisa.
Luar biasa, bukan?! (National Geographic)