Intisari-Online.com - Tulisan (dokumen) adalah sumber pembelajaran generasi berikutnya. Tanpa tulisan, kebudayaan tidak akan maju. Kita bisa belajar karena ada tulisan. Maka, menulislah.
Semangat dan keyakinan itulah yang disebarkan oleh Budi Darma (76 tahun), novelis dan Guru Besar Ilmu Sastra Universitas Negeri Surabaya. Baik langsung atau pun tidak, Budi Darma mengajak orang-orang di sekitarnya untuk menulis. Melalui buku-bukunya, ceramah, seminar, bimbingan kuliah, atau hanya sekadar saat ngobrol santai.
Lahir di Rembang, 25 April 1937, Budi Darma dikenal sebagai figur penulis dan akademisi sastra yang cukup disegani di Tanah Air. Karya-karyanya banyak diperbincangkan di forum-forum sastra maupun menjadi subjek penelitian ilmiah, terutama novel Olenka (1983) dan kumpulan cerpen Orang-orang Bloomington (1980). Belasan penghargaan sastra dan kebudayaan pun pernah diraihnya, antara lain South East Write Award dari pemerintah Thailand untuk novelnya Olenka tahun 1984 dan Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI tahun 2005.
“Mendorong orang menulis bukan dengan menggurui atau memerintah. Sebab, orang justru akan enggan kalau disuruh atau diperintah. Intinya, disemangati menulis, tetapi pelan-pelan saja,” tutur suami Sitaresmi sambil tersenyum.
Menulis bukan sekadar menorehkan huruf dan kata. Menulis membiasakan seseorang dengan literasi (kemampuan membaca). Literasi tentang apa pun juga, baik tentang lingkungan, alam manusia, atau hal lain. Literasi akan mengajarkan kita membuat rencana dengan baik.
“Menulis mendorong kita merencanakan segala sesuatu. Bagaimana tulisan dibuat dengan ekonomisasi kata, bagaimana tulisan disusun dalam ruang yang ada, dan bagaimana tulisan itu akan diarahkan,” ujar penulis yang baru saja dinobatkan sebagai salah satu dari lima cendekiawan berdedikasi oleh Harian Kompas ini.
Membaca masalah
Menurut Budi Darma, menulis akan mengajarkan kita membaca atau melihat masalah. Menemukan inti persoalan, membuat abstraksinya, lalu mencari solusi.
Menulis beda dengan mendongeng. Yang dilakukan bangsa ini kebanyakan adalah mendongeng. Semua bicara dan bercerita, terkungkung dengan kemegahan masa lalu. Saling tumpang tindih, sahut menyahut, hingga nyaris tidak bisa menemukan akar persoalan sesungguhnya.
“Akibatnya, kita tidak bisa mengidentifikasi persoalan sebenarnya. Kita dengan mudah melupakan hal-hal lalu. Ujung-ujungnya kita jadi bangsa pelupa,” kritik Budi Darma.
Lupa akan kesalahan, kejahatan, dan penipuan yang merugikan bangsa. Lupa akan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta kekerasan yang terjadi berulang-ulang. Lama-lama kekerasan itu terlembaga dan sistematis. Celakanya, kekeliruan itu kemudian dimaklumi dan dianggap wajar.
Dengan menulis, kita mampu mengidentifikasi dan mengabstraksi masalah. Ini membuat kita bisa melacak kembali informasi pada masa lalu. Tidak melupakan yang telah berlalu. Tak heran, hingga kini Budi Darma terus menulis. Ia menolak lupa dengan hal-hal pada masa lalu.
Lalu apa yang bisa kita tulis? Semua hal di sekitar kita bisa jadi bahan tulisan. Budi Darma mengajarkan, saat masih kecil, ia bisa menulis situasi tentang malam hari. Ia menuliskannya saat diajak sang ayah bertandang ke rumah temannya, yang memiliki mesin tik. Karya itu pun mendapat penghargaan majalah Budaya di Yogyakarta.
“Dahulu, masa penjajahan, sangat sulit mendapatkan sarana menulis. Harusnya, saat ini yang semua serba ada, bisa dijadikan jalan untuk menulis lebih matang,” ujarnya.
Menulis sepertinya sepele, tetapi bisa menggambarkan hal besar. Dengan menulis, kita belajar menata hidup dan kehidupan. Menata bangsa dari yang terbiasa “mendongeng”, menjadi bangsa yang terbiasa menemukan inti persoalan, lalu menyelesaikannya.
Untuk itu, Budi Darma akan terus menulis. Menata bangsa ini selapis demi selapis. (Disarikan dari Harian Kompas)