Intisari-Online.com -Sejak Juli 1933, Pemerintah Hindia Belanda melarang pegawai pemerintah menjadi anggota Partindo dan PNI-Baru (Pendidikan). Apa boleh buat, demi perjuangan, Trimurti muda memilih berhenti menjadi guru, lalu ia mengikuti kursus kader Partindo di Bandung. Sejak itu, namanya mulai masuk daftar pengawasan PID (polisi rahasia kolonial).
Ketika Soekarno ditangkap Belanda pada 1 Agustus, Fikiran Ra'jat berhenti terbit. Bersama Sanusi Pane, Trimurti kemudian mengajar di Perguruan Rakjat di Pasirkaliki, Bandung. Namun di sini pun ia terkena larangan mengajar. Pemerintah Kolonial Belanda menuduhnya sebagai penghasut para murid.
Trimurti yang gerah terus di rumah, lalu menerbitkan majalah berbahasa Jawa, Bedug, kemudian berganti nama menjadi Terompet. Merasa tak bebas bergerak jika terus tinggal di rumah orangtua, Trimurti pindah ke Yogya. Bersama temannya, Sri Panggihan, ia mendirikan majalah Suara Marhaeni. Saat itu ia mulai menambahkan nama Trimurti di belakang namanya sehingga menjadi S.K Trimurti.
Tahun 1936, karena membuat pamflet antipenjajahan, Trimurti dipenjara 9 bulan di Penjara Bulu, Semarang. Di dalam bui ia merasa sebal, menyaksikan perbedaan perlakuan antara bumiputera dengan orang Eropa.
Pada 1937 Trimurti berkenalan dengan seorang pejuang eks Digul, Sayuti Melik yang kelak menjadi suaminya dan menikah menikah di Solo pada 19 Juli 1938. Belakangan, Sayuti Melik diingat orang sebagai pengetik naskah Proklamasi.
Sebelum Jepang mendarat di P. Jawa, Trimurti bekerja di surat kabar Sinar Selatan yang dipimpin seorang warga Jepang. Masalah muncul ketika Trimurti memuat artikel kiriman seseorang yang dianggap meresahkan, bertajuk "Pertikaian Tentara Jepang dan Tiongkok". (Bersambung)