Intisari-Online.com -Pada 11 April 1939 lahir putra pertama mereka. Saat putranya hampir berumur 5 bulan, barulah datang surat keputusan pengadilan untuk mengeksekusi Trimurti. Tak ada pilihan, ia terpaksa membawa bayinya ikut "masuk penjara". Belakangan diketahui, penulis artikel itu adalah Sayuti Melik.
Bulan Juni 1942 putra kedua lahir. Pada masa pendudukan Jepang ini, Sayuti sempat ditangkap karena menerbitkan majalah Sinar Baru. Setelah itu Trimurti menyusul masuk bui, keduanya sempat merasakan siksaan tentara Jepang. Baru setelah Jepang kalah, Trimurti dan suaminya bebas.
Pascakemerdekaan, Trimurti ditugasi oleh Komite Nasional Indonesia untuk menggelorakan semangat rakyat di Semarang. Trimurti menjadi Menteri Perburuhan di Kabinet Amir Sjarifuddin, setelah sebelumnya memimpin Partai Buruh. Trimurti dikenal kritis dan berwawasan jauh ke depan. Ir. Setiadi. Tulisan-tulisan Trimurti pun selalu berpihak kepada perempuan dan rakyat miskin. Ia memutuskan kuliah lagi di Fakultas Ekonomi Ul, meski ketika itu usianya sudah merambah 41.
Tahun 1959 Soekarno hendak menunjuk Trimurti menjadi Menteri Sosial. Namun di luar dugaan, Trimurti menolak dengan alasan ingin berkonsentrasi menyelesaikan kuliah. Sebuah penolakan yang jarang terjadi, apalagi jika kita melihat dewasa ini para politisi justru ramai memperebutkan kursi menteri.
Pada awal masa Orde Baru, Trimurti menjadi pengurus Dewan Harian Angkatan '45 dan mendirikan majalah kebatinan Mawas Diri. Di masa Orde Baru pula, persisnya pada 1980, S.K Trimurti ikut menanda tangani "Petisi 50". Sejak itu, geraknya jadi sangat dibatasi. Sementara itu, di era reformasi, ia aktif menghadiri berbagai kegiatan.
Begitulah Surastri alias S.K Trimurti. Sepanjang hidupnya, ia bak tak pernah mengenal kata menyerah. Demi perjuangan, ia rela kehilangan status sebagai pegawai pemerintahan kolonial. la pun tidak takut keluar masuk penjara. Lalu menerima tawaran menjadi Menteri Perburuhan, walaupun dengan gaji lebih rendah daripada penghasilannya sebagai penulis pada beberapa surat kabar.
Sedangkan di episode yang lain, ia malah menolak jabatan Menteri yang ditawarkan Presiden Sukarno karena lebih memilih memilih berkonsentrasi menyelesaikan studi. Idealismenya tak pernah mati. "Terdapat pemimpinpemimpin yang baik, pentimpin- pemimpin yang kurang baik, dan pemimpin-pemimpin yang tidak baik, yang bukan menguntungkan rakyat, akan tetapi malah merugikan rakyat.'(Asvi Warman Adam / Sejarawan LIPI) (Selesai)