Intisari-Online.com - Dari badan usaha yang terkenal selalu merugi, PT KAI kini bisa menghasilkan untung hingga Rp400 miliar/ tahun. Pelayanannya kepada publik pun semakin prima. Seperti sulap, perubahan itu hanya berlangsung dalam tempo 3-4 tahun. Namun, tokoh utama perubahan itu, Ignasius Jonan, mengaku sama sekali tak bisa main sulap. Lantas bagaimana dia membenahi PT KAI? Berikut penuturannya kepada Yoyok Prima Maulana, Editor Intisari.
--Saya sudah mengenal Intisari sejak kecil. Ayah saya dulu langganan majalah ini. Sekarang Intisari sedang merayakan ulangtahun ke-50, ya. Sama dong dengan umur saya, ha..ha..ha. Selamat buat Intisari! Tidak mudah bagi sebuah unit usaha bisa bertahan selama itu. Pasti selalu ada inovasi dan regenerasi yang berkelanjutan.
Perusahaan Kereta Api Indonesia (KAI) juga tak kalah tua, bahkan jauh lebih tua karena sudah ada sejak 1945. Pemerintah menunjuk saya untuk memimpin PT KAI pada 2009. Harus diakui, kondisinya saat itu jauh dari harapan. Selain kerap merugi, pelayanannya pun sering dikritik.
Jika ditanya sebesar apa keyakinan saya saat ditunjuk memimpin PT KAI? Saya jawab, tidak tahu. Sebab bagi saya yang terpenting adalah bekerja semaksimal mungkin. Saya ini orangnya fair. Jika gagal, tidak perlu dipecat, pasti saya akan mundur dengan sendirinya. Selain itu saya nothing to lose karena tidak punya kepentingan politik atau apa pun.
Beberapa kalangan juga menyebut, background pendidikan dan pekerjaan saya tidak tepat untuk memimpin PT KAI. Basis pendidikan saya adalah keuangan. Pekerjaan saya dulu, salah satunya di Citibank, juga mengurusi masalah finansial. Sementara latar belakang tentang transportasi tidak ada sama sekali. Tapi apakah betul antara perusahaan keuangan dan perusahaan transportasi tidak ada hubungannya?
Bagi saya, dua bidang ini justru tidak berbeda jauh. Keduanya sama-sama bergerak di bidang service industry. Subtansinya sama persis, yakni pelayanan. Yang berbeda hanya packaging atau kemasannya. Jika bidang perbankan alat pelayanannya produk keuangan, di PT KAI alat pelayanannya gerbong dan kereta. Oleh karena itulah, saya tidak merasa gentar sedikit pun saat disuruh mengurusi kereta api.
Beberapa bulan setelah menjabat direktur utama PT KAI, saya dan keluarga meninjau persiapan arus mudik Lebaran 2009. Saat itu banyak sekali penumpang yang keleleran di stasiun dan tidak mendapat tempat duduk meski sudah membeli tiket. “Papi bagaimana sih. Kasihan ‘kan mereka. Kalau seperti ini, berarti kerja Papi enggak bener dong,” kritik anak saya.
Pikir-pikir, benar juga omongan anak saya itu. Tidak selayaknya penumpang yang sudah membeli tiket mendapat perlakuan seperti itu. Satu-satunya jalan agar hal seperti itu tidak terjadi lagi mesti dilakukan perubahan. PT KAI tidak boleh lagi berorientasi ke produk tapi harus diubah ke pelayanan. Jadi, tidak boleh lagi membuat sesuatu yang kami mau, tapi harus membuat apa yang pelanggan mau. Sesederhana itu.
Baca kisah selengkapnya di Majalah Intisari edisi khusus ulang tahun ke-50, September 2013 (500 halaman).