Berikut ini bagian kedua artikel karya budayawan Arswendo Atmowiloto berjudul “Korupsi Bukan Cobaan” yang ditulis di majalah Intisari edisi Juli 2005.
--
Intisari-Online.com - Kadang kita tercengang, atau berang, sedikitnya kurang senang, ketika seseorang yang kita kenal dengan baik dan terkesan baik dan benar, ternyata tak bisa menahan godaan.
Rasanya, ada yang terluka dengan rasa percaya, sebagaimana menemukan ulat di buah yang sedang dikunyah, atau ada kecoa berjalan di mulut kita. Kesadaran batin kita terguncang, ada suatu gambaran indah yang terbuang, atau bahkan hilang.
Melihat kenyataan seperti ini. Saya hanya bisa menasihati diri. Untuk tidak melakukan korupsi secara sadar, dan juga membentengi diri tidak membiarkan diri masuk dalam godaan kolektif secara tidak langsung tindakan koruptif. Godaan kolektif sering sangat efektif. Berjudi, selingkuh atau ngebut menjadi atraktif kalau dilakukan bersama.
Makanya, berusahalah menahan diri. Sebisanya, semampunya.
Barangkali menasihati diri harus sering saya ulang, agar selalu ada dalam memori. Soalnya, kadang kita berhubungan dengan rasa keadilan, dan terasa timpang. Misalnya, kehidupan para koruptor yang berada dalam penjara.
Pengalaman membuktikan bahkan dalam penjara sekalipun, para koruptor atau penyelundup, pemalsu kartu kredit, bandar judi selalu memperoleh kamar yang lebih mewah dan perlakuan yang wah. Karena banyak harta yang tersisa.
Barangkali, kalau saya boleh memberi nasihat untuk koruptor: cobalah sekarang ini seterbuka mungkin. Mengakui, menjelaskan. menelanjangi diri dengan menceritakan secara detail godaan yang menyebabkan terjerembab ke dalam korupsi. Bagaimana caranya, metodenya, siapa saja teman-temannya, berapa yang berhasil diambil. Terutama juga, berapa yang bakal dikembalikan.
Dengan begini, ia sedikit banyak menebus dosa dan memberi kemungkinan berkurangnya hal yang sama yang bisa terjadi pada orang lain. Para penyelidik pun lebih cerdik menghadapi siasat sena likuliku tindak korupsi.
Ada saat kita terpeleset karena kebegoan kita, tapi juga selalu ada kesempatan untuk bangkit kembali, juga dijadikan pelajaran bagi orang lain. (Arswendo Atmowiloto / Intisari edisi Juli 2005)