Abraham Samad (4): Mengubah Cara Pemberantasan Korupsi

Ade Sulaeman

Editor

Abraham Samad (4): Mengubah Cara Pemberantasan Korupsi
Abraham Samad (4): Mengubah Cara Pemberantasan Korupsi

Ini merupakan bagian keempat dari artikel Majalah Intisari edisi khusus ulang tahun ke-50, September 2013, dengan judul asli “Abraham Samad: Jujur Saja Tidak Cukup”.

Intisari-Online.com - Terdapat banyak prioritas yang mesti diselesaikan saat saya mulai menjabat ketua KPK. Tapi harus ada skala prioritas mengingat sumber daya lembaga yang terbatas.

Maka, saya memakai skala prioritas untuk menyelesaikan kasus, yakni dengan mengutamakan kasus-kasus besar dulu untuk diselesaikan.

Inilah yang kemudian membuat KPK sering dikritik melakukan tebang pilih. Padahal tidak. Kami terpaksa harus fokus kepada kasus-kasus besar dulu karena keterbatasan sumber daya.

Saya juga melihat, sistem pemberantasan korupsi di Indonesia mesti diubah. Karena korupsi yang terjadi di sini sangat besar, masif, dan masuk dalam golongan extraordinary crime, cara membasminya pun harus dengan cara yang luar biasa, metode yang radikal.

Kami lalu melakukan pemetaan terhadap kejahatan korupsi di Indonesia. Setelah petanya tersusun, maka dicarilah metode- metode untuk mengatasinya. Akhirnya lahir sebuah cara yang kami sebut sebagai Pengintegrasian Penindakan dan Pencegahan.

Selama ini KPK lebih sering mengandalkan tindakan yang represif untuk memberantas korupsi.

Dalam hal ini tindakan represif punya makna: menangkap pelaku, bawa ke pengadilan, masukkan ke penjara, dan sita harta-hartanya. Hal itu bagus tapi tidak bisa optimal untuk memberantas korupsi.

Sebagai contoh, seorang koruptor di instansi A tertangkap dan dipenjara. Posisi orang tersebut di instansi A lalu diganti si X. Tak berapa lama, si X ketahuan korupsi dan akhirnya masuk ke penjara menyusul rekannya.

Artinya, di sini telah terjadi regenerasi koruptor. Itu akan berlangsung terus-terusan jika tak segera dibenahi.

Oleh karena itu, sistem yang melahirkan regenerasi koruptor harus segera dibenahi. Sebab, hal itu menandakan adanya sistem yang tidak benar.

Litbang KPK mesti mendiagnosis kira-kira apa penyebabnya dan kenapa di sana lahir korupsi. Misal, regulasi yang mung- kin membuka peluang terjadinya korupsi, sistem manajemen yang tidak transparan, dll.

Setelah ketahuan penyebabnya, KPK memberikan rekomendasi dan supervisi. Kalau dalam perjalanan ke depan instansi yang terkait patuh, dipastikan tidak akan ada korupsi. Tapi jika melanggar, kasus korupsi pasti akan muncul lagi.

Inovasi pemberantasan korupsi yang menggabungkan pencegahan dan penindakan sudah dilakukan sejak 2012. Salah satunya dilakukan di Kementerian Agama.

Kami melakukan supervisi dalam pengelolaan ibadah haji. Kalau mereka tidak memperbaiki, jangan salahkan KPK jika masuk dan melakukan penangkapan lagi.

Contoh lain adalah koordinasi supervisi (korsup) yang kami lakukan ke 33 provinsi di Indonesia.

Di pemprov, KPK menekankan pengawasan ke tiga hal, yakni anggaran belanja atau APBD, pengadaan barang jasa, dan pelayanan publik.

Dari pengawasan itu kami lalu memberikan rekomendasi tentang sistem apa yang mesti dibenahi di provinsi terkait agar ruang untuk korupsi semakin sempit.