Dokter Ikhlas Tanpa Papan Nama (4): Dicekal Pemerintah, Dituding Ekstremis

Ade Sulaeman

Editor

Dokter Ikhlas Tanpa Papan Nama (4): Dicekal Pemerintah, Dituding Ekstremis
Dokter Ikhlas Tanpa Papan Nama (4): Dicekal Pemerintah, Dituding Ekstremis

Dalam rangka Hari Dokter Nasional, Intisari-Online.com memuat artikel tentang sosok dokter inspiratif. Judul aslinya “Aznan Lelo: Dokter Ikhlas Tanpa Papan Nama: Dokter Mestinya Tak Boleh Pasang Tarif” dari Majalah Intisari edisi September 2013. Berikut ini bagian keempatnya.

Intisari-Online.com - Sebelum berangkat ke Australia sekitar 1983, Aznan menghadapi tantangan yang cukup besar. Ia dicekal pemerintah, tidak boleh ke luar negeri karena dituding sebagai ekstremis.

“Dari tahun 1980 sudah ada panggilan agar aku berangkat ke Australia untuk mengambil Ph.D. Tapi ternyata, di negeriku yang amat sangat tercinta ini, aku disebut ekstremis. Aku kena cekal, dikatakan Islam ekstremis, sama waktu itu dengan orang-orang yang tak boleh bepergian ke luar negeri,” kisahnya.

Aznan sempat patah arang untuk belajar ke Australia. Namun, setelah ia meminta nasihat kepada ustaz, optimismenya muncul lagi.

“Kata ustaz, ‘Tak beriman kau Aznan, andaikata rezeki itu memang disiapkan untuk kau ke sana (Australia). Artinya kau akan sampai, walaupun kau ke sana naik kereta api’,” katanya mengenang.

“Berarti, kalau memang ada rezekiku di Australia, artinya aku akan tetap sampai ke sana. Kalau ada sepiring nasiku di sana, aku harus sampai ke sana untuk menghabiskan sepiring nasi tadi,” tegasnya.

Hikmah yang dia petik dari pengalaman itu, lanjut Aznan, dalam kehidupan ini manusia tak usah selalu heboh. Sebab pada dasarnya rezeki masing-masing orang sudah ditentukan Yang Maha Esa.

”Tak perlu heboh kali, buka praktik di sana-sini. Sudah, kerja ajalah yang baik. Apa kerja kau, wartawan, berprofesilah kau sebagai wartawan. Aku, dokter, berprofesilah aku sebagai dokter.

Jangan nanti, penampilan ustaz, tapi tujuannya ngambil duit, penampilan wartawan tujuannya ngambil duit, penampilan dokter tujuannya ngambil duit, guru ngambil duit, polisi ngambil duit, hakim mengambil duit, pengacara mengambil duit. Itu salah!”

Dokter, bagi Aznan, adalah profesi yang tidak boleh menetapkan tarif jasa pembayaran. Sama halnya seperti dua profesi lainnya, yakni pengacara dana guru.

“Yang datang ke pengacara itu kan orang meminta nasihat, datang ke guru karena orang mau belajar, datang ke dokter karena orang minta pengobatan. Jangan dibilang, eh, sudah kutolong kau, mana duitnya. Itu tak boleh.

Terkecuali karena ilmu kita dia pintar lalu dia kaya, terus dia memberikan sesuatu tidak kita minta, boleh. Jadi, tiga profesi ini mestinya tak boleh membuat tarif,” katanya.

Aznan mengaku pasti, prinsip dia diragukan orang. Bagaimana ia membiayai hidup keluarga dan menyekolahkan anaknya hingga tiga anaknya meraih sarjana?

“Kan bingung juga kau, kok bisa hidup dokter, punya istri, anak sarjana semua, dua orang jadi dokter dan satu sarjana hukum. Berdagang rupanya dokter? Kau tanya semua orang aku tak ada berdagang. Aku dosen, makin tak bisa aku minta duit sama muridku. Lalu dari mana? Oh itu semua buah kasih. Bagaimana bentuknya, ya macam-macam, seperti orang mengucapkan terima kasih,” katanya. (Feriansyah Nasution, Wartawan Tribun Medan)