Ignasius Jonan (2): Benahi Dulu Orangnya

Birgitta Ajeng

Editor

Ignasius Jonan (2): Benahi Dulu Orangnya
Ignasius Jonan (2): Benahi Dulu Orangnya

Ini adalah penuturan Ignasius Jonan yang dimuat di Majalah Intisari edisi September 2013 dengan judul asli “Ignasius Jonan: Saya Tidak Bisa Sulap".--Intisari-Online.com - Sebagai sebuah perusahaan yang bergerak di service industry dan berorientasi ke pelayanan, kunci utamanya is the man atau para pegawai. Merekalah yang menjadi prioritas pertama saya untuk dibenahi. Kedisiplinan dalam memberikan pelayanan mesti ditingkatkan dan dipastikan standarnya.Dulu, tanpa bermaksud menyalahkan pendahulu saya, para karyawan PT KAI bekerja tanpa arah yang jelas. Kalau saya boleh memberi judul, mungkin “Salah Asuhan”. Mirip judul novel karangan Abdul Muis.Padahal, para karyawan PT KAI sebenarnya punya semangat kerja yang patut diacungi jempol. Etos kerjanya tinggi. Mereka hanya tidak tahu arah mana yang mesti dituju. Blueprint memang ada. Tapi apa gunanya blueprint jika tidak dilaksanakan?Maka itu, dalam membenahi sumber daya manusia saya memperkenalkan sistem meritokrasi. Untuk mencapai posisi tertentu, tidak ada lagi yang namanya urut kacang atau persaingan antarkelompok. Standar penilaiannya jelas, yakni prestasi dan profesionalitas kerja.Karena ini industri pelayanan jasa, gaji para pegawainya harus layak. Tidak mungkin orang yang merasa gajinya serba kekurangan bisa memberikan pelayanan yang bagus. Untuk itu, gaji para pegawai saya naikkan bertahap. Aspek keadilan pun ditegakkan. Gaji komandan di lapangan harus lebih tinggi ketimbang komandan di kantor. Sebagai contoh, saat ini gaji seorang masinis ada di kisaran Rp8 juta/bulan.Pada sisi lain, setelah gaji naik, kedisiplinan ditegakkan tanpa kompromi. Jika ada yang nekat “main”, pasti saya sikat. Jika ada bagian pengadaan main mata dengan rekanan suplier, saya akan langsung bawa ke bui. Dulu di sini banyak yang suka “main”. Ada pegawai merangkap mafia kios, ada juga yang main besi-besi tua. Tapi semua saya hajar tanpa pandang bulu.Supaya kultur disiplin dan kejujuran tumbuh dengan cepat, maka saya juga harus ikut serta. Leading by example atau memimpin dengan keteladanan, begitulah model kepemimpinan yang saya praktikkan. Misal, sebagai seorang dirut, saya tidak boleh lagi ikut dalam proses pengadaan barang. Wewenang itu harus didelegasikan, dan saya tidak boleh ikut campur. Hanya, jika bagian pengadaan ada “main”, tanpa ba bi bu pasti akan langsung saya seret ke penjara.Demikian pula dengan kewajiban piket. Jika mengharapkan anak buah disiplin melaksanakan piket, saya mesti juga mematuhi jadwal piket. Ambil contoh, jadwal piket tujuh hari persiapan lebaran, maka saya juga tidak boleh absen. Ini saya pegang betul sebab keteladanan jauh lebih berarti daripada nasihat ataupun perintah.Pembenahan kedisiplinan karyawan ini tentu minta “korban”. Sejak saya masuk ke PT KAI, ada sekitar 400 pegawai atau sekitar 1,5% dari 27.000 karyawan yang terkena sanksi. (bersambung)