Berikut ini bagian kedua dari artikel berjudul “Mahfud MD: Menerobos Kebuntuan Hukum” yang dimuat di Majalah Intisari edisi khusus 50 tahun, September 2013.
--
Saya tertarik kepada pandangan Satjipto Rahardjo, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Sementara dalam menjalani profesi hukum saya meneladani sosok Baharuddin Lopa, mantan Jaksa Agung.
Lopa mempunyai integritas tinggi, ketegasan, dan keberanian dalam menegakkan hukum. Tapi dalam cara berpikir saya mengikuti Satjipto Rahardjo yang mengembangkan hukum progresif di Indonesia.
Dengan berpegang pada prinsip hukum progresif, saya lebih menekankan keadilan substantif, bukan kebenaran formal. Karena itu saya selalu berpijak pada paradigma hukum progresif. Di Mahkamah Konstitusi (MK), saya juga menerapkannya.
Itulah sebabnya banyak yang mengatakan MK membuat banyak terobosan ketika saya menjabat sebagai ketuanya. Saya tidak tunduk terhadap bunyi undang-undang yang tidak memberi keadilan. Buat apa menaati undang-undang tapi masyarakat dirugikan?
Hukum progresif berakar dalam filsafat dan budaya hukum kita sejak lama. Selama ini masyarakat kita tidak menjadikan hukum sebagai alat untuk mencari kemenangan, namun alat untuk menegakkan kebenaran dan membangun kedamaian.
Kalau Anda mau menggunakan hukum untuk mencari kemenangan dalam berperkara, itu mudah sebab tinggal bermain pasal-pasal saja.
Siapa yang paling jago bermain pasal, mencari pasal yang kadang berserakan dan saling bertentangan satu sama lain, dia bisa menang. Tapi di situ tidak ada rasa keadilan.
Sebaliknya, dengan hukum progresif yang mengutamakan keadilan, kita tidak harus terikat oleh pasal dalam undang-undang. Pasal hanyalah alat untuk mengetahui suatu gejala. Mungkin benar, untuk sebagian ketentuan pasal-pasal itu bisa adil karena memberi kepastian bagi orang bertindak.
Tapi dalam banyak hal bisa menimbulkan ketidakadilan. Sebab, pasal-pasal itu bisa dicari dan diperdebatkan hanya berdasar keahlian melobi dan berdebat saja di sidang, sementara sukma hukum atau keadilannya hilang.
Itulah sebabnya MK dalam membuat keputusan lebih mengutamakan keadilan ketimbang undang-undang. Kebetulan semua anggota MK pada masa saya mempunyai pendapat yang sama: kami ingin menegakkan keadilan bukan menegakkan undang-undang.
Lalu, bolehkah kita tunduk pada undang-undang? Boleh, asalkan memberi rasa keadilan. Tetapi jika tidak memberi rasa keadilan dan membuat macet urusan, lebih baik UU-nya ditinggal.
Sebagai contoh, ada satu peristiwa luar biasa. Ketika Pilpres 2009 tinggal empat hari, pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dan Mega-Prabowo mengancam akan memboikot pemilu. Alasannya, banyak massa pendukung mereka tidak tercatat di DPT.
Padahal, menurut UU Pemilu, orang yang mempunyai hak pilih itu adalah orang yang tercatat di DPT. Mereka mengancam, kalau dalam dua hari tidak dibereskan, akan mengundurkan diri dari Pemilu.
Padahal, dalam UU Pemilu tidak ada prosedur pengunduran diri, apalagi waktu itu logistiknya sudah jadi. Dalam persidangan yang diadakan dari pagi sampai sore, kami terobos semua aturan itu.
Dan seperti yang kita ketahui, kemudian MK mengumumkan, siapa pun yang mempunyai KTP, meski tidak tercantum di DPT, boleh memilih. Para calon kandidat pun menerima jalan keluar itu. Pemilu berjalan aman. Itulah hukum progresif.