Berikut ini bagian ketiga dari artikel berjudul “Mahfud MD: Menerobos Kebuntuan Hukum” yang dimuat di Majalah Intisari edisi khusus 50 tahun, September 2013.
--
Untuk membangun rasa keadilan, yang paling utama, pembuat UU harus terbuka kepada setiap perkembangan yang terjadi di masyarakat. Sekarang di kampus-kampus di luar negeri banyak menerapkan konsep keadilan restoratif (restorative justice). Keadilan restoratif mengupayakan hukum sebagai jalan damai, bukan jalan mencari menang.
Semangat ini sejatinya sudah ada dalam hukum adat masyarakat kita. Contoh, kalau ada orang yang memperkosa seorang perempuan, bisa dihukum tujuh tahun penjara. Dengan begitu, masyarakat mungkin terpenuhi haknya, tapi yang diperkosa tetap mendapat malu.
Nah, dalam hukum restoratif tidak demikian. Korban dan pelaku dipertemukan dulu tapi jangan sampai ada orang yang tahu. Singkatnya, keadilan restoratif itu ingin mencari damai: si gadis tidak malu, dan pemerkosa bertanggung jawab. Itulah obsesi penegakan hukum di Indonesia yang saya impikan.
Konsep hukum dengan semangat keadilan restoratif ini sekarang sudah dikembangkan di dunia Barat. Di Indonesia juga sudah mulai disuarakan agar semua persoalan tidak harus dibawa ke pengadilan atas nama UU.
Untuk menegakkan hukum dalam masyarakat yang plural kita harus memegang prinsip atau ideologi yang didasari kesadaran akan adanya perbedaan. Fakta tentang perbedaan itu tidak bisa dinafikan. Itu yang harus diper- hatikan. Maka kita harus disatukan dalam ideologi yang mengakui adanya perbedaan itu. Untungnya, sejak dulu dasar hukum kita sudah mengakomodasi semangat multikulturalisme dan pluralisme.