Berikut ini bagian keempat dari artikel berjudul “Mahfud MD: Menerobos Kebuntuan Hukum” yang dimuat di Majalah Intisari edisi khusus 50 tahun, September 2013.
--
Saat menjabat menteri kehakim- an, saya pernah menawarkan dua konsep untuk mengakhiri kemelut korupsi. Sesaat setelah dilantik jadi menteri, saya mengadakan rapat bersama para dirjen dan staf eselon satu. Saya bertanya, apa sih masalah kita sekarang? Saya mencatat, rupanya ada dua masalah. Pertama, secara internal, birokrasi kita busuk. Karena itu, saya tidak percaya pada birokrasi. Setiap kali ada masalah, kalau biro- krasi yang menyelesaikan, selalu berputar-putar. Tidak pernah tegas.
Kedua, korupsi yang akut. Saya menawarkan dua konsep untuk mengakhiri kemelut korupsi, yaitu amputasi dan ampunan. Dengan konsep amputasi, Latvia dan beberapa negara Amerika Latin berhasil mereformasi dan memperbaiki kehidupan hukum. Di sana jika ada pejabat korupsi, masa jabatannya dipotong dan tidak boleh lagi menjadi pejabat publik, lalu diberi ampunan.
Setelah selesai semua urusannya, yang bersangkutan menjadi bersih kembali. Inilah yang biasa disebut amputasi atau dalam bahasa ilmiah- nya lustrasi. Ini tidak mudah karena pasti ditentang banyak orang.
Lalu saya menyiapkan alternatif kedua: ampunan dengan hukuman berat. Saya mengajukan contoh di Afrika Selatan dan Cina. Apa yang terjadi di sana? Afrika memberi maaf kepada koruptor, sedang Cina menghukum mati. Nah, saya usulkan agar hari ini semua koruptor diberi maaf dan dibebaskan dosa-dosanya di masa lalu dari sangkaan hukum. Tapi jika besok melakukan korupsi lagi hukumannya adalah hukuman mati. Tentu dalam praktiknya tidak bakal seekstrem ini karena ada prosedur-prosedur hukum yang harus dilalui.
Saya tidak main-main dengan ide ini karena sudah membentuk tim pada rapat hari itu. Malamnya saya mengundang orang-orang LSM, seperti Todung Mulya Lubis, Munir, dan Hendardi. Mereka semua menerima konsep saya, yaitu lustrasi nasional dan pengampunan dengan hukuman berat. Timnya sendiri dipimpin oleh Todung Mulya Lubis. Namun, rencana ini tidak berjalan karena tiga hari kemudian, yaitu hari Senin, Gus Dur jatuh.
Saya juga melanjutkan gagasan bersama Baharuddin Lopa yang waktu itu menjabat Jaksa Agung, untuk membuat RUU Pembuktian Terbalik. RUU Pembuktian Terbalik ini gampang. Misalnya begini, Anda menjadi dirjen. Gajinya per bulan Rp20 juta. Dengan masa jabatan dua tahun berarti sudah bisa dikalkulasikan bahwa Anda mempunyai uang sekian. Sebelum dan setelah menjabat dirjen, Anda harus melaporkan jumlah kekayaan yang dimiliki.
Ketika jumlahnya dinyatakan berlebih dari kalkulasi pendapatannya selama dua tahun menjabat, langsung dinyatakan tersangka korupsi. Namun, jika bisa membuktikan bahwa Anda memperoleh kekayaan itu secara bersih dalam jangka waktu tertentu, bisa menghindari sangkaan korupsi. Itu saja intinya. Sesudah saya pergi dari Departemen Kehakiman sampai sekarang tidak jelas nasibnya. Tidak ada yang meneruskan.