Berikut ini bagian kelima dari artikel berjudul “Mahfud MD: Menerobos Kebuntuan Hukum” yang dimuat di Majalah Intisari edisi khusus 50 tahun, September 2013.
--
Barulah saat menjadi Ketua MK, saya mempunyai cukup ruang untuk mengaktualisasikan diri. Fase ini paling memuaskan karena saya bisa mewujudkan ide yang dulu pernah digagas. Saya bisa meyakinkan dan mengajak teman-teman hakim di MK untuk menerapkan hukum progresif dan keadilan substantif. Dengan menerapkan prinsip hukum progresif, kami melakukan banyak terobosan untuk menyelesaikan berbagai pengaduan kasus dari masyarakat.
Beberapa kasus yang cukup menonjol, selain kasus Pilpres 2009 tadi, antara lain kasus sengketa Pilkada, pembubaran RSBI, pencabutan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Terobosan ini kami lakukan demi mencapai keadilan substantif.
Sebagai contoh, kasus pencabutan UU BHP. Dari aspek legal formal, UU BHP ini benar. Tapi karena tidak menyentuh rasa keadilan, kami batalkan saja. Pertimbangan keadilan yang kami maksud terkait beberapa hal. Pertama, memindahkan tanggung jawab negara kepada masyarakat. Kedua, BHP dilandasi semangat neoliberal. Perguruan tinggi dibiarkan bersaing di pasar mencari mahasiswa sendiri-sendiri dengan harga terserah. Alokasi untuk orang miskin hanya 20 %, tapi selebihnya sepertinya dilelang.
Kemudian, perguruan tinggi (PT) diperbolehkan melakukan kerja sama riset. Kalau seperti itu nanti yang menang PT yang sudah besar semua, seperti UI, ITB, dan UGM, yang lain bisa mati. Jadi, meskipun dari perspektif akademik UU BHP bagus, kalau dilihat dari sudut lain banyak cacatnya. Ini berbahaya.