Jon Koum: Dulu Tukang Sapu, Kini Triliuner Baru (bag. 3)

Moh Habib Asyhad

Editor

Jon Koum: Dulu Tukang Sapu, Kini Triliuner Baru (bag. 3)
Jon Koum: Dulu Tukang Sapu, Kini Triliuner Baru (bag. 3)

Intisari-Online.com -Siapa sangka, seorang bocah yang dulunya hanya tukang sapu di sebuah toko kelontong kini menjadi triliuner baru. Jan Kaoum, sang pendiri WhatsApp, dulu hanya imigran Ukraina dekil yang hidup bergantung pada dana sosial yang diberikan oleh pemerintah.

WhatsApp sempat mengalami kesulitan keuangan. Tapi setelah itu aplikasi ini terus tumbuh dan menghasilkan pendapatan dari biaya langganan yang ditarik dari pengguna. WhatsApp telah menjelma jadi layanan pesan instan terbesar dengan jumlah pengguna aktif per bulan mencapai 450 juta.

Setiap hari, sebanyak 18 miliar pesan dikirim melalui jaringannya. Semua itu ditangani dengan jumlah karyawan hanya 50 orang.

Semuanya berbasis masa lalu

WhatsApp ternyata sangat dipengaruhi oleh masa lalu Koum. Pria ini menghabiskan masa kecil di Ukraina yang masih menjadi bagian dari Uni Soviet. Di negeri tersebut, percakapan warga selalu dimata-matai oleh pemerintah.

"Itulah tempat yang saya tinggalkan untuk menuju ke sini (AS), di mana ada demokrasi dan kebebasan berbicara," ujar Koum.

Sehubungan dengan kemungkinan penyadapan oleh NSA, Koum mengatakan bahwa privasi pengguna WhatsApp sangat dijaga. Berbeda dengan perusahaan-perusahaan semacam Facebook dan Yahoo!, Koum mengatakan bahwa WhatsApp tak didorong oleh iklan. "Jadi, kami tak perlu mengumpulkan data pribadi pengguna," katanya.

Soal kebebasan dari iklan ini ternyata juga ada hubungannya dengan masa lalu Koum.

"Tak ada yang lebih personal dari komunikasi yang Anda lakukan dengan teman dan keluarga, dan menginterupsi itu semua dengan iklan bukanlah solusi yang tepat," ujar Koum. Selain itu, Koum adalah sosok yang tumbuh di tengah lingkungan komunis yang tidak mengenal iklan.

Sejak dulu, Koum dan Acton selalu konsisten menjaga layanan perusahaan itu agar tetap sederhana dan berfokus pada pengiriman pesan serta bebas iklan. Sikap ini tecermin dari secarik kertas di ruang kantor Koum, berisikan semboyan singkat yang ditulis oleh Acton: Tanpa Iklan! Tanpa Permainan! Tanpa Gimmick!.

Di sampingnya tergeletak sepasang walkie-talkie yang dipakai Koum untuk mencari tahu bagaimana caranya menyederhanakan pesan instan berbasis suara.

Kendati demikian, dia tak melupakan masa lalu. Koum menandatangani perjanjian bernilai triliunan rupiah dengan Facebook itu di depan bekas kantor Dinas Sosial North County, Mountain View, tempat dia dulu mengantre kupon makanan untuk warga kurang mampu. (Oik Yusuf|kompas.com)