Intisari-Online.com -“Pada Minggu, 20 Juli 1879, saya memulai perjalanan dari Samarinda dengan dua perahu ke Tangaroeng (Tenggarong),” ungkap seorang lelaki muda di buku catatannya, “jaraknya sekitar 30 mil perjalanan lewat sungai.”
Lelaki itu adalah Carl Alfred Bock, naturalis dan pelancong berkebangsaan Norwegia kelahiran Kopenhagen, Denmark. Bock pernah melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan selama enam bulan. Ketika itu usianya masih 30 tahun.
Misinya di Kalimantan merupakan titah dari Gubernur Jenderal Johan van Lansberge untuk melaporkan keberadaan suku-suku Dayak dan menghimpun spesimen sejarah alam untuk beberapa museum di Belanda.
Hasil penjelajahannya di Samarinda-Tenggarong-Banjarmasin dan pedalaman Kalimantan, Bock menulis buku berjudul The Head Hunters of Borneo yang terbit pada 1881, lengkap dengan 37 litografi dan ilustrasi. Dalam bukunya yang sensasional itu dia berkisah tentang peradaban Dayak dan kanibalisme antarsuku.
Litografi oleh C.F. Kelley berdasa lukisan karya Carl Bock ketika menyeberang Sungai Benangan.Tentang pengalamannya, dia menulis sebuah buku "The Head Hunters of Borneo" yang terbit pada 1881. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)“Bock memberi kita informasi yang padat tentang suku Dayak dari Kalimantan Selatan,” ungkap Alfred Russel Wallace, seorang naturalis dan penjelajah asal Inggris, beberapa bulan setelah buku itu terbit.
“Kesan umum dari deskripsinya yang didukung potret kehidupan menunjukkan adanya kesamaan nan indah antara semua suku di pulau besar ini, baik dalam karakteristik fisik dan mental,” demikian ungkap Wallace, “meskipun ada banyak spesialisasi dalam kebiasaan.”
Bock dalam catatannya telah berjumpa Dayak Long Wai, Dayak Long Wahou, Dayak Modang, Dayak Punan, “Orang Bukkit” dari Amontai, dan Dayak Tring. Dia juga menuturkan upayanya dalam menyingkap kisah lama dari warga setempat tentang manusia berekor. Seorang abdi kepercayaan dari Sultan Kutai A M Sulaiman bersaksi pernah menjumpai sosok itu dan menjulukinya dengan “Orang boentoet”.
“Saya berhasil menyelesaikan perjalanan ini,” ungkap Carl Alfred Bock. “Saya menjelajahi rute dari Tangaroeng ke Bandjermasin, sejauh 700 mil, melewati serangkaian bahaya dan kesukaran di suku Dayak.” (Mahandis Y. Thamrin|nationalgeographic.co.id)