Kisah Ibu Teresa: Kematian yang Bermartabat

K. Tatik Wardayati

Editor

Kisah Ibu Teresa: Kematian yang Bermartabat
Kisah Ibu Teresa: Kematian yang Bermartabat

Intisari-Online.com – Ibu Teresa (1910-1997), saat menjabat sebagai seorang biarawati dan guru di Loreto, ia menerima panggilan khusus dari Tuhan untuk melayani Dia di antara termiskin dari yang miskin. Ia mendirikan ordo Misionaris Cinta Kasih pada tahun 1950 di daerah kumuh dan kotor di Kolkata, India.

Suatu hari, ia menemukan seorang wanita miskin yang sekarat di tumpukan sampah. Tubuhnya digigit belatung, semut, dan tikus. Ibu Teresa membawanya ke tempat yang aman, dibersihkan, dan memberi semua perhatian medis yang mungkin dan penuh kasih sayang. Hidup wanita itu tidak bisa diselamatkan, tetapi ia meninggal dengan senyum manis di wajahnya. Wanita itu meninggal dengan bermartabat. Ibu Teresa tetap berada di dekatnya sampai pada kematiannya.

Kejadian ini memberi Ibu Teresa inspirasi untuk memulai membuat rumah untuk orang yang sekarat, di mana orang bisa mati dengan bermartabat, menerima perawatan lembut dan perhatian penuh kasih sayang sampat saat terakhir kehidupan.

Pada tahun 1952, Ibu Teresa membuka ‘Nirmal Hriday’, yang berarti ‘murni hati’, sebagai rumah untuk orang yang sekarat. Orang miskin yang sekarat dibawa ke Nirmal Hriday, menerima ritual keagamaan dari agama mereka sendiri sebelum kematian mereka. Orang-orang Kristen menerima ritus terakhir dari Liturgi Kudus, umat Hindu menerima air suci dari sungai Gangga, dan umat Muslim bisa mendengar pembacaan Al-Qur’an saat mendekati kematian. Dengan demikian mereka bisa mati dalam iman dan martabat, dengan perasaan bahwa mereka dicintai dan diinginkan.

Rumah itu dimaksudkan sebagai hadiah kematian yang indah bagi orang-orang yang hidup seperti binatang; dengan rahmat malaikat, dengan perasaan bahwa mereka dicintai dan diinginkan.

Ibu Teresa kemudian dikenal sebagai “Santa dari Selokan.” Ia menghabiskan semua uang yang diterimanya dari hadiah, sumbangan, dan penghargaan, untuk perawatan orang-orang miskin, sakit, dan malang. Ia menerima Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1979 “dalam nama orang-orang yang tidak diinginkan, tidak dicintai, dan tidak dipedulikan.”

Misi Misionaris Cinta Kasih, menurutnya, adalah untuk “merawat yang lapar, telanjang, tunawisma, orang cacat, orang buta, orang kusta, semua orang yang merasa tidak diinginkan, tidak dicintai, tidak diperhatikan seluruh masyarakat, orang yang telah menjadi beban bagi masyarakat, dan dijauhi oleh semua orang.”

Kepada orang yang mengajukan dirinya untuk bergabung dalam tindakan amalnya, ia berkata, “Apa yang bisa Saya lakukan, Anda tidak bisa. Apa yang dapat Anda lakukan, Saya tidak bisa. Tetapi bersama-sama kita bisa melakukan sesuatu yang indah bagi Tuhan.”

Kata-katanya mengungkapkan padangan tentang misinya, “Kita semua adalah pensil di tangan Tuhan. Dalam kehidupan ini kita tidak dapat melakukan hal-hal besar. Kita hanya bisa melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar. “

Dalam pandangan Ibu Teresa, “Kemiskinan yang paling mengerikan adalah kesepian dan perasaan tidak dicintai.” Katanya lagi, “Kata-kata yang baik bisa singkat dan mudah untuk dikatakan, tetapi gemanya benar-benar terbatas. Saya melihat Tuhan dalam setiap manusia. Ketika saya mencuci luka orang kusta, saya merasa sedang memberikan susu kepada Tuhan sendiri. Bukankah ini pengalaman yang indah?”