Intisari-Online.com – Seorang pria memiliki dua anak laki-laki. Ketika anak sulungnya sekolah, ia memberi permen kepada anak bungsunya yang berada di rumah. Tapi ketika anak bungsunya hendak memakan permen itu, kakaknya kembali dari sekolah.
Si sulung langsung saja menyambar permen dari adiknya, memasukkannya ke dalam mulutnya dan lari. Tentu saja, sang adik menangis dan bergegas ke kamarnya. Ia mengunci kamarnya dari dalam, dan menangis keras di tempat tidurnya, menangisi permennya yang hilang.
Setelah beberapa saat, sang ayah belajar dari peristiwa itu. Ia mendatangi kamar anak bungsunya, membawa permen sebotol penuh yang diam-diam disimpannya. Ia mengetuk pintu dan meminta anaknya untuk membukakan pintu. Ia mengatakan bahwa ia memiliki banyak permen untuk si bungsu. Tetapi anak bungsunya menolak mendengarkan ayahnya. Ia hanya berbaring di tempat tidur, tidak mendengarkan ketukan dan suara ayahnya. Ia terus menangis, mengkhawatirkan satu permennya yang hilang. Kekhawatirannya mencegah ia mendapatkan sukacita yang jauh lebih besar.
Kita mungkin membuang banyak waktu, tenaga, dan peluang hanya karena khawatir tentang kerugian kecil yang telah terjadi dalam hidup kita. Lalu mengutuk orang-orang, yang dalam pandangan kita, bertanggung jawab atas kerugian yang kita alami. Padahal dengan tindakan bodoh seperti itu, kita benar-benar menutup pintu hati kita terhadap Tuhan yang dengan penuh belas kasihan dan menolak untuk menerima hadiah yang lebih besar dari berkatNya. Kita harus menerima saat-saat rasa sakit, dan kerugian memang akan kita temui dalam kehidupan kita, karena itu sebagai bagian dari rencana Tuhan untuk kemenangan kita di akhir kehidupan kita.
Mari kita membuka pintu hati kita dan menyapa Tuhan kita dengan mengasihiNya. Mari kita mencari berkat-Nya, dan memintanya untuk memurnikan kepala, hati, tangan, dan kebiasaan kita.