Intisari-Online.com – "Every crisis offers you extra desired power" - William Moulton Marston
Di awal Januari 1965, seorang psikolog Martin Seligman, nekat melakukan eksperimen yang cukup berpengaruh bagi dunia kesehatan mental. Bersama rekannya, ia mengondisikan tiga ekor anjing. Anjing-anjing itu kemudian disetrum.
Anjing pertama dikondisikan bahwa ia bisa menghentikan aliran listrik dengan sentuhan hidungnya. Anjing kedua belajar bahwa tak ada satu pun yang bisa dilakukannya. Sedangkan anjing ketiga tidak diberikan setruman apa pun.
Lantas, percobaan dilanjutkan dengan menaruh ketiga anjing itu di kotak yang terpisah oleh pengalang rendah. Di kotak itu, satu sisinya terdapat setruman listrik dan di sisi yang lainnya, aman. Lalu, tibalah saatnya ketika semua anjing ditaruh di bagian beraliran listrik.
Merasa kalah
Apa yang terjadi? Dalam hitungan detik, anjing pertama dan ketiga segera belajar untuk meloncat ke bagian kotak yang aman. Namun apa yang terjadi dengan anjing nomor dua? Ternyata anjing itu tetap membiarkan dirinya disetrum listrik tanpa melakukan usaha apa pun.
Kejadian menarik ini lantas ditulis di Journal of Experimental Psychology. Berdasarkan ilmu psikologi perilaku, tidak pernah terbayangkan bahwa binatang seperti anjing bisa belajar untuk membiarkan dirinya disetrum karena merasa tak berdaya. Inilah yang akhirnya melatarbelakangi suatu pemikiran besar soal perilaku ketidakberdayaan, yang dikenal dengan istilah Learn Helplessness.
Perilaku helplessness anjing tersebut kemudian dipakai untuk menjelaskan apa yang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Anjing nomor dua tersebut merasa tidak berdaya dan kehilangan "minat"-nya untuk berusaha. Mungkin dalam pikirannya adalah "semua dunia ini penuh aliran listrik, percuma saya pergi ke mana pun, hasilnya akan sama."
Gejala-gejala di atas memang terbukti pada anjing. Namun tidakkah kita merasa sering melihat perilaku seperti itu di sekitar kita?
Terbukti, banyak orang kehilangan daya juangnya karena berada dalam situasi krisis dan stres terus-menerus, setelah beberapa lama. Bagi mereka, percuma melakukan apa pun, karena tidak akan bisa diperbaiki lagi situasinya. Mereka pun merasa kalah, lalu mengambil tindakan nekat. Misalkan, mungkin Anda pernah membaca, seorang pria di Jakarta bunuh diri dengan minum cairan serangga di hotel lantaran harga sahamnya anjlok akibat krisis. Di sampingnya terdapat tulisan, "Saya kalah main di lantai bursa. Mereka itu kejam-kejam."
Tata emosi
Sementara itu, di tempat lain, kita melihat masih banyak pengusaha yang mengalami kegagalan dan kekalahan lebih banyak, tetapi mereka tetap tegar dan bersemangat untuk menjalankan bisnisnya. Di sinilah sebenarnya kita melihat perbedaan antara mereka yang cerdas emosinya dengan yang tidak, dalam menghadapi krisis finansial.
Orang yang tidak cerdas emosinya, membiarkan dirinya tidak berdaya (helpless) dan berbagai emosi negatif menguasai diri mereka. Sedangkan mereka yang cerdas emosinya, menyadari bahwa krisis dan masalah tidak perlu ditakutkan. Mereka tidak membiarkan diri mereka tak berdaya. Mereka justru memilih untuk tetap menguasai emosinya dan menggunakannya sebagai tenaga pendorong untuk berpikir kreatif, berusaha lebih keras, memperluas networking, dan berbagai usaha lainnya.
Saya teringat kisah Sirivat Voravetvutikhun, seorang penguasaha real estate asal Thailand yang pada masa krisis moneter 1997 sampai nekat jualan sandwich di jalan. Tatkala ditanya soal langkah beraninya, ia hanya menjawab, "Saya lahir sebagai orang miskin. Maka visi saya adalah menjadi orang sukses dan saya bekerjakeras untuk berhasil. Dan terpenting, dalam masa krisis di Thailand ini, saya berusaha mengatasi rasa malu, gengsi, dan takut. Itulah musuh terbesar saya. Setiap hari bangun, saya membayangkan bahagianya saya ketika saya sukses dulu. Itu memberikan saya semangat luar biasa."
Bagaimana dengan kita? Bagaimanakah kita menghadapi krisis yang ada di depan mata? Kita bisa memilih untuk berjuang dan terus mencari terobosan baru. Atau, kita pun bisa menjadi seperti anjing dalam eksperimen Seligman, yang hanya meratap, merintih, dan mengeluh. Yang jelas, marilah kita menata emosi lebih baik, supaya tidak disamakan dengan seekor anjing. (Anthony Dio Martin – Intisari Mei 2009)