Intisari-Online.com – Sudah sejak lama, kiprah semut selalu menarik perhatian. Saya senang menyaksikan mereka bergotong royong membawa makanan ke sarang. Atau “berjabat tangan” saat saling bertemu di perjalanan. Lucunya.
Suatu kali, saya melihat seekor semut berjalan sendirian di tembok. Iseng-iseng saya letakkan butiran gula, tak jauh dari tempat semut tadi muter-muter. Hap! Umpan saya rupanya terendus oleh penciuman sang semut. Dia mendekati dan mencoba mengangkat butir gula tadi, sendirian. Namun tubuhnya langsung sempoyongan, dan tubuhnya berbalik. Mungkin ia tak kuat menahan beban itu. Saking beratnya, ia terpaksa harus merayap turun dulu, sambil menstabilkan tubuh.
Tapi ia pantang menyerah. Ia tetap berusaha mempertahankan potongan gula itu sekuat tenaga. Setelah sekitar setengah meter merayap turun, dengan susah payah si semut membalikkan lagi tubuhnya ke atas, lalu mengangkat makanannya merayap ke atas. Ya, ia berhasil merayap naik dan terus naik, ke tempat yang seharusnya ia tuju – rumahnya.
Saya amati terus semut itu sampai ditelan atap. Mungkin sekarang ia sedang menikmati makannya, atau membagi-bagi makanan – yang diperolehnya dengan kerja sangat keras dan penuh cucuran keringat – itu bersama teman-temannya.
Terkadang kita mengalami apa yang semut itu alami, dihadapkan pada tugas atau tanggung jawab yang berat. Namun, alangkah baiknya jika dapat belajar dari semut tadi, mencoba bertahan dan pantang menyerah saat dihadapkan pada tugas, pekerjaan, masalah, atau tanggung jawab yang terasa berat. Bukan hanya sekadar mengeluh dan mengeluh.
Pada awalnya sangat sulit dan kadang merasa putus asa, tapi jika kita mampu bertahan dengan gigih dan pantang menyerah, kita akan bisa mengatasi semua itu dan menikmati buahnya. Persis seperti si semut menikmati makanan yang besarnya hampir sama dengan ukuran tubuhnya. (Intisari)