Rabu malam, 13 April 2011, Bentara Budaya Jakarta, menggelar acara konser #Koinsastra. Sebuah upaya spontan para seniman karena trenyuh pada nasib Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Berita ringkasnya dapat ditonton di vod.kompas.com/koinsastra selain di media cetak tentunya. Tak dijelaskan berapa dana yang berhasil dikumpulkan,
Saya yakin selain lebih dari 20 seniman yang berkolaborasi dan penonton yang datang, masih amat banyak orang lain, anggota masyarakat, yang juga trenyuh. Trenyuh, bagaimana sebuah Pusat Dokumentasi Sastra Indonesia yang menyimpan 50.000 dokumentasi karya sastra Indonesia, dan dikoleksi dengan penuh cinta oleh pendirinya, kini terlunta-lunta.
Ada kata-kata yang menarik diucapkan oleh Garin Nugroho, sutradara itu. Mengomentari soal sedikitnya dukungan dana dari Pemprov DKI ia membilang, "Pemerintah sudah kehilangan rasa sastranya."
Begini persisnya penjelasannya yang diulang lagi kepada saya, "Waktu SMP, guru saya selalu bilang rasa su sastra adalah kehalusan perasaan, semacam kehalusan budi, sehingga seseorang mempunyai rasa krisis terhadap hal-hal terkecil dalam hidup ini ... yang muncul dari sensitivitas terhadap manusia dan kemanusiaannya."
Merasa memang erat hubungannya dengan sensitivitas. Tenggat waktu dalam pekerjaan dan tugas, jelas merupakan patok-patok waktu yang membuat kehidupan jadi terbatas. Ada pekerjaan di toko, di kantor, di pasar, di tempat shooting, di lapangan, dan di rumah. Ditambah lagi kini tumbuh kebutuhan untuk memelihara jejaring sosial.Networking, yang sebenarnya adalah kegiatan positif dalam memelihara jejaring sosial dan kerja, kalau tidak dikelola dengan baik, dapat semakin mengkooptasi keseharian kita.
Cobalah perhatikan, betapa semakin umum dan jamaknya kita melihat pemandangan semacam ini: di kantin, kafe, atau restoran, sekelompok orang duduk di meja yang sama, tetapi masing-masing anggota kelompok itu sibuk sendiri-sendiri dengan ponselnya. Anak-anak remajahanging outdi mal, berjalan bersama-sama, tetapi masing-masing menunduk membaca dan memencet-mencet ponsel masing-masing. Orang-orang berkumpul di meja rapat, atau di ruangan seminar, tapi konsentrasinya tidak pada pembiacara melainkan pada ponsel atau tablet, ataugadgetpintar lain.
Jangan-jangan kita telah semakin teradiksi untuk melakukanmultitaskingsepanjang hari? Bila ya, tak terhindarkan, kita akan menyingkirkan hal-hal kurang mendesak. Salah satunya merasakan hal-hal "kecil" di sekitar kita. Melihat wajah kecil tak berdosa di tepi jalan yang meminta-minta, memandang wajah pasangan yang sebenarnya sedang tertekan tetapi tak berani mengungkapkan, melihat rekan kerja yang sedih karena alasan tertentu, menangkap kerinduan anak yang lama tak dielus dan disapa karena orang tuanya sibuk.Barangkali kita tak peka lagi bahwa membiarkan orang lain berbicara di sebuah rapat sementara kita sibuk dengan ponsel adalah tindakan yang sangat tidak menghargai orang lain.
HB Jassin telah mewariskan harta karun hasil coretan akal budi manusia Indonesia yang kini sedang diupayakan penyelamatannya. Mengapa repot-repot amat? "Karya sastra diperlukan bukan hanya bagi yang ingin menjadi seniman, tetapijuga untuk menumbuhkan kehalusan budi itu," sambung Garin lagi.
Sepakat. Budaya serba cepat, serba praktis, mau ambil sarinya saja, instan, sesekali perlu "diliburkan" ketika kita menikmati karya sastra. Mudah-mudahan dengan itu lama-kelamaan kita akan kembali lebih mampu untuk "melihat" dan tidak sekadar "memandang". Dengan kehalusan budi kita akan lebih "melihat" sesama manusia danmenikmati "sastra" kehidupan di sekitar kita. Ah, barangkali HB Jassin, yang oleh A Teew dipanggil Wali Penjaga Sastra Indonesia itu akan tersenyum di atas sana. Sastra menemukan lahannya dalam kehidupan kita. Perfect.