Intisari-Online.com - Dalam bahasa panggung, Whitney Houston sesungguhnya seorang seri panggung tulen. Dia tahu benar cara paling dramatis untukexitadalah ketika pentas sedang dalam puncak kehebohan.Itulah yang terjadi saat tubuh kakunya ditemukan tenggelam di bak mandi, pada malam menjelang pesta besar musik dunia, penganugerahan Grammy Awards.Sampai tulisan ini diturunkan, belum ada kesimpulan pasti mengenai penyebab kematian penyanyi bersuara emas itu. Namun, sayangnya bukan kisah kriminal semata yang sedang kita bicarakan di sini. Kita sedang mengelus dada, kalaupun tidak menangisi, atau menyesali, sebuah kehidupan yang “seharusnya” tidak berakhir demikian.
Untuk membayangkan pesonanya, coba simak tulisan jurnalis Richard Corliss ini:
There she stands, Miss Black America. With her impeccable face, sleek figure and supernova smile, she looks like a Cosby kid made in heaven. She stirs sentiments not of lust but of protectiveness and awe; everybody around wants to adopt her, escort her or be her. And now this perfect creature picks up a microphone. Oh. You mean she sings too?
Oh yes. Whitney Houston can sing, and not just too. Beneath the Tiffany wrapping lie the supplest pipes in pop music. Her precocity and virtuosity, her three-octave range and lyrical authority, are, at 23, scary. .... (Time, Senin, 13 Juli, 1987: “The Prom Queen of Soul”)
Kini, dua puluh empat tahun kemudian, perempuan yang sama ditemukan mati di bak mandi. Dapat dipastikan orang yang sedikit banyak mengetahui kisah hidupnya (menikah dengan penyanyi R & B yang sukses Bobby Brown tahun 1992, berita-berita KDRT antara mereka, perceraian tahun 2007, lalu masuk-keluarnya Whitney ke panti rehab karena ketergantungan pada narkoba dan alkohol), serta-merta melemparkan kegeraman kepada sang mantan suami. “Dialah gara-garanya!” kata kita seraya mengacungkan tinju kepada gambar Bobby Brown. Spontanitas untuk melindungi Whitney itu tetap ada bahkan sampai kini.
Ada sejenis orang yang selalu melemparkan kesalahan atas segala kejadian buruk yang menimpa dirinya pada orang lain. Tidak lulus sekolah, tidak diterima di tempat kerja yang baik, tidak menemukan jodoh, tidak menjadi pribadi yang baik, semua terjadi karena kesalahan orangtua yang tidak mendidik dirinya dengan baik, institusi sekolah yang otoriter, lingkungan keluarga yang tidak mendukung, bahkan kalau bisa juga menyalahkan alam semesta. Biasanya orang yang demikian itu banyak mengalami (atau merasakan) kegagalan dalam kehidupannya. Seorang pecundang.Whitney tidak pernah menyalahkan mantan suaminya, paling tidak sejauh yang dilaporkan oleh media massa. Whitney memang bukan pecundang, karena ia pernah menang dan menjadi “ratu” di masanya. Kepiawaiannya menggetarkan hati pendengar lewat suara bahkan diakui sampai kini.
Kini dengan kata sifat apakah kita akan menggambarkan Whitney? Apakah ia manusia yang malang? Apakah ia sekadar sial, ataukah ia manusia bodoh yang melakukan pilihan-pilihan keliru? Seandainya Whitney adalah Dewi Nawang Wulan. Seandainya ia, begitu menyadari bahwa suaminya, Joko Tarub itu tidak sebaik yang dikiranya, seandainya ia dengan tegas segera merebut hidupnya lagi dan terbang kembali ke kahyangan dan tidak menanti sampai lima belas tahun .... sebelum semuanya menjadi terlalu berat.
Dewi Nawang Wulan mestinya juga telanjur mencintai suaminya. Lalu hatinya pasti hancur ketika memutuskan akan meninggalkan suaminya. Hidup memang demikian. Masalah-masalah tidak selalu dapat dinilai secara hitam putih. Apa yang diinginkan seseorang tak selalu berjalan seiring dengan pertimbangan nalarnya. Pada akhirnya, kadar keteguhan hati dan kebijaksanaanlah yang akan mengambil peran.
Kalau hasilnya baik, alhamdulilah. Kalau hasilnya malapetaka, kita hanya bisa berharap penonton akan sedikit bermurah hati. Oleh karena hakim yang paling percaya diri dan ganas biasanya penonton yang berdiri di luar arena.