Hening

Lily Wibisono

Editor

Hening
Hening

Intisari-Online.com - Pernah membayangkan diri terlempar dengan mesin waktu ke zaman Ken Arok? Di masa ketika bising yang paling mengganggu paling-paling suara pandai besi yang sedang bekerja, bunyi orang menumbuk padi, kentongan saat ada bahaya; dan lalu lintas baru diramaikan oleh bunyi derap langkah kuda, kereta kuda, atau langkah orang berjalan, atau barangkali, klenengan di leher sapi, dapat dibayangkan sepinya. Telinga mungkin terasa “kosong”.

Bayangkanlah yang terjadi di Bali sepanjang hari Jumat, 23 Maret 2012. Di sana Nyepi selalu “dirayakan” dengan kondisi sepi. Lebih sepi dari bayangan kita tentang masa Ken Arok di atas, karena selain amati karya (tak bekerja), masyarakat Hindu Bali juga melakukan amati geni (tak menyalakan api), amati lelungan (tidak bepergian), amati lelanguan (tidak bersenang-senang). Tidak ngapa-ngapain, tetapi juga tidak tidur. Saya bingung. Kepada seorang teman yang kebetulan pemeluk Hindu Bali dan melakukan brata (pantangan) pe-Nyepi-an itu, saya tanyakan, “Apa yang kaulakukan selama itu? Berdoakah?”

“Yang terbanyak adalah perenungan,” begitu jawabnya.

Diponegoro pun nyepi

Laku pantang dan puasa sebenarnya tidak hanya dipraktikkan oleh umumnya penganut agama dan aliran kepercayaan dengan derajat “kesulitan” berbeda-beda. Dari dunia sekuler pun, banyak yang menjalankannya. Sebagian atas nama kesehatan, semacam detoks. Sebagian lagi, atas nama kesehatan spiritual dan demi keseimbangan alam semesta, tapa brata itu dilakukan untuk merenung, seperti yang dilakukan kawan saya itu.

Ketika R.M. Ontowiryo beranjak dewasa, seperti yang biasa dilakukan oleh para putra raja Jawa, ia tidak hanya pantang dan puasa, melainkan juga melakukan melakukan perjalanan spiritual di Jateng Selatan. Diawali dengan memperdalam ilmu agama di pesantren-pesantren, ia menutupnya dengan bertapa di gua-gua di bagian selatan Jawa Tengah. Bahkan menurut penuturannya sendiri, yang dicatatnya dalam buku hariannya, Babad Dipanegara, pada pertapaannya yang ketiga, ia didatangi oleh Ratu Roro Kidul. Tentu bukan untuk itu ia melakukan tapanya, karena ketika Ratu Roro Kidul menawarkan bantuan kepadanya, ia menolaknya dengan mengatakan, “Bagiku pertolongan hanya datang dari Allah.” (Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 2011).

Di tengah kondisi masyarakat yang menderita karena terjajah, perjalanan P. Diponegoro untuk “nyepi” itu tak dapat dipandang melulu sebagai bagian dari ritual kedewasaan seorang pangeran. Nyatalah, nyepi itu dianggap sebagai suatu periode yang wajib untuk merenungkan arah kehidupannya di masa depan dan menimba kekuatan spiritual menghadapi tugas berat di depan mata.

Umat Katolik, saat ini juga dalam masa empat puluh hari berpantang dan puasa, ritual yang ditiru dari puasa empat puluh hari yang dulu dilakukan Yesus Kristus sebelum mengawali pewartaannya. Sesuatu yang amat penting, yang merupakan tugas hidupnya.

Puasa yes, hening ...?

Di Indonesia, khususnya di Jawa, ritus pantang dan puasa masih sangat umum dilakukan. Seorang pedagang di wilayah Kebon Jeruk pernah berucap, setiap Senin dan Kamis, dagangannya agak sepi. Pasti berkaitan dengan banyaknya keryawan di kawasan itu yang masih melakukan puasa. Tapi amat jarang terdengar orang menjalankan laku tapa, atau hening. Misalnya, menembangkan tembang-tembang Jawa sebagai bagian dari doa di tengah malam selama dua jam, seperti yang masih dipraktikkan oleh seorang pinisepuh dari Kraton Yogyakarta.

Kalau kita meyakini bahwa spirit itu adalah cahaya, kekuatan utama, yang menjadi inti seorang manusia, bukankah justru perenungan dalam hening itu yang akan menjadikan pantang puasa kita berbuah maksimal?

Di tengah ingar-bingarnya keseharian kita, sebuah pe-er muncul di Hari Nyepi ini: sejauh manakah kita telah menghadiahi jiwa kita dengan “kemewahan”: suasana hening, yang diperlukan untuk perenungan itu? Sudah waktunya mengingatkan diri, yang heboh dan sibuk bisa saja pasif kosong. Sebaliknya yang diam dan hening malah aktif berisi.

And there are those who have the truth within them, but they tell it not in words.

In the bosom of such as these the spirit dwells in rhythmic silence. (“The Prophet”, Kahlil Gibran)