Minggu lalu beberapa teman menyapa saya sambil mengatakan, “Titip ya!” Mereka rupanya “menitip” agar saya memilih calon-calon tertentu pilihan mereka karena mereka sendiri, walaupun bekerja di Jakarta tidak tinggal di dalam wilayah DKI. Ketika itulah saya menyadari betul betapa banyak rekan-rekan kerja saya yang bukan penduduk DKI. Suatu fakta yang sebenarnya sudah diketahui semua orang sejak dulu. Bahwa secara catatan kependudukan penduduk DKI Jakarta “cuma” 8,5 juta jiwa (Jakarta Dalam Angka 2011), tetapi dalam kenyataan sehari-hari angka itu melar beberapa juta karena urbanisasi dan pekerja dari wilayah Jabodetabek. Bahkan pemerintah DKI memprakirakan, tahun 2016 (hanya empat tahun lagi), penduduk DKI akan mencapai 32 juta (12 juta di DKI, dan 20 juta di wilayah Jabodetabek)!
Hari ini, 11 Juli 2012, hari libur, dan bersama-sama jutaan penduduk DKI, saya melakukan hak dan kewajiban sebagai warga Jakarta. Tak guna berandai-andai, tinggal tunggu saja hasilnya siapa yang bakal menang. Siapa pun yang akan terpilih menjadi gubernur yang baru, di pundaknya tersangga beban berat segala mimpi warga Jakarta akan kota impian mereka.
Bicara soal kota impian, barangkali Anda segera ingat pada ibukota Amerika Serikat Washington D.C. Ibukota itu langka karena sebagai sebuah ibukota memang dirancang sejak awal. Kontroversi yang diperdebatkan orang Amerika mengenai ibukota mereka cuma sejauh siapa desainernya, apakah benar seorang Prancis bernama Pierre L'Enfant, dan bagaimana desain itu dikembangkan. Tidak, kita tidak boleh mengiri, karena perkembangan Jakarta memang sangat alamiah. Terlalu alamiah malah.
Nah, mungkin lebih mirip dengan Paris, yang sejarahnya bisa dirunut dari masa Kekaisaran Romawi, ketika namanya masih Lutetia? Paris , yang namanya baru terlahir pada abad ke-4, pada abad ke 16 (setelah usianya 12 abad) mengalami krisis yang amat parah. Populasinya membludak, sehingga kota terasa terlalu sesak, sanitasi minus, kemacetan lalu-lintas ada di mana-mana sampai kereta (kuda) pribadi dilarang. Pengemis dan gelandangan menghiasi kota dan anak-anak banyak yang dibuang begitu saja karena orangtua mereka tercekik kemiskinan. Kemudian diadakan peraturan bahwa toilet dam saluran pembuangan air kotor harus ada di rumah-rumah, dst.
Gambaran Paris abad ke-16 itu sungguh menyeramkan. Tapi kalau ditinjau satu per satu: populasi yang membludak, kota yang terlalu sesak, masalah sanitasi, , kemacetan lalu-lintas, pengemis dan gelandangan, …. ah bukankah itu semua pemandangan sehari-hari kita di Jakarta? Setengah bercanda pasti Anda akan bilang, “Ah, tapi ‘kan Jakarta belum berusia 12 abad, jadi Jakarta yang baru mendekati lima abad usianya masih menang dong dari Paris …”
Paris pada hari ini, lima abad kemudian, tentu saja Paris yang bersih nan cantik, yang pada sore hari sepulang bekerja memungkinkan penduduknya bercengkerema ria di café-café sepanjang bulevarnya. Mumpung PILKADA, saya berani mengumbar mimpi sebagai seorang warga Jakarta. Begini saya bermimpi:
# Cukup menghabiskan waktu 20 menit (atau kurang) untuk tiba di tempat kerja
# Bisa ke mana-mana dengan menumpang kendaraan angkutan umum yang bersih, nyaman, murah, dan dapat diandalkan jadwalnya
# Dalam satu hari, saya dapat bepergian ke setidaknya dua tempat tujuan, dan ketika kembali ke kantor masih ada waktu untuk mengerjakan pekerjaan lain.
# Di perjalanan, kita tak perlu mengenakan masker antidebu, karena udaranya bersih
# Kendaraan umum, walau tak ber-AC, tidak terasa gerah, karena jendelanya bisa dibuka lebar-lebar dan udara kota cukup sejuk karena pepohonan rindang berjajar di sepanjang jalan, bukan hanya di jalan-jalan protokol.
# Setiap hari para pekerja yang sudah berkeluarga sudah kembali dari tempat bekerja paling lambat pukul 18.30, sehingga mereka masih mempunyai waktu untuk keluarga atau para lajang menikmati udara sore di kafe-kafe bersama teman-teman.
# Orang-orang tua dapat bepergian dengan kendaraan umum tanpa dilarang oleh anak-anak mereka, karena dapat dipastikan keselamatannya terjamin (tak bakal ditinggal lari kendaraan saat baru satu kakinya menapak di dalam kendaraan, atau terserempet motor saat ia turun dari kendaraan umum).
Kalau Anda warga Jakarta, atau bekerja di Ibukota, atau warga daerah yang sering harus ke Jakarta, Anda pasti mempunyai mimpi-mimpi versi Anda sendiri. Mudah-mudahan mimpi-mimpi itu belum Anda buang ke keranjang karena frustrasi dan putus asa. Mudah-mudahan kita tak perlu menunggu lima abad lagi untuk melihat Jakarta menjadi tempat yang nyaman ditinggali dan dikunjungi. Selain secara biologis tak mungkin, itu sungguh bakal memalukan bangsa dan mengecewakan anak-cucu …