Intisari-Online.com -Dapat dipastikan banyak warga di luar Bali dan non-umat Hindu yang tidak mengalami nikmatnya kedamaian dalam keheningan Nyepi karena berbagai komitmen. Namun janganlah ini dihadapi dengan kesal atau marah. Janganlah kita mengundang munculnya Sang Diri yang Rendah, mengesampingkan Sang Diri yang Agung, yang juga kita miliki. Ya, percikan kecil yang bersifat Illahi itu. Raka Santeri menjelaskannya di Harian Kompas 11 Maret 2013 dalam Renungan Nyepi “Menegakkan Diri yang Agung” (hlm. 1)
“Jejak-jejak keillahian” itu dapat diraba, dirasakan, dinimati, dan dilihat: hasil karya kebudayaan, peradaban, dan kejernihan berpikir. Bukankah Indonesia ditampilkan indah dalam karya seni yang begitu beragam? Keindahan jiwanya mengalun lewat tembang dan gending, pantun dan lagu yang rancak; lewat indahnya hasil tenunan kain yang tak terhitung ragamnya; juga lewat karya kebajikan di berbagai gerakan sosial (social movement).
Berada di pusaran pergaulan kalangan muda Indonesia adalah media jejaring sosial. Lima belas persen pemakai Twitter dunia ada di negara kita. Indonesia juga negara keempat dengan pemakai FaceBook terbesar di dunia. Banyak pemakai account jejaring sosial terus-menerus terpapar arus informasi dan interkoneksitas dengan lewat jejaring sosial. Interkoneksitas telah merebut lahan waktu untuk hening. Padahal hanya pada saat hening, kita mampu leluasa mengambil jarak; lalu berpikir dan “merasa”. Bukan dengan kelima indera saja, tetapi juga dengan jiwa; mata hati. Dengan demikian kita menyapa Sang Diri yang Agung itu agar dapat terus memunculkannya.
Umat Hindu hari ini mengingatkan kita, hening itu penting. Bahkan ketika Hari Nyepi telah berlalu pun, hening akan tetap penting.
Selamat merayakan Hari Raya Nyepi, Tahun baru Saka 1435.