Majalah Kecil Yang Menerobos Dinding Waktu (1963-1)

Lily Wibisono

Editor

Majalah Kecil Yang Menerobos Dinding Waktu (1963-1)
Majalah Kecil Yang Menerobos Dinding Waktu (1963-1)

Intisari-Online.com -17 Agustus 1963 – 17 Agustus 2013, 50 tahun, setengah abad. Itulah Majalah Intisari. Simak “perjalanan hidupnya”dalam rangkaian artikel “Majalah Kecil Yang Menerobos Dinding Waktu”.

17 Agustus 1963, di sebuah ruang sederhana penuh rak buku di tingkat dua sebuah gedung milik PT Kinta, Jln. Pintu Besar Selatan 86 – 88, Jakarta Pusat, Intisari lahir. Bidannya Auwjang Peng Koen SH, Drs. Jakob Oetama, dan Drs. Adisubrata. Tanpa cover, setebal 128 halaman.

Idenya sendiri lahir di sebuah tempat yang sarat dengan sejarah. Sekitar awal tahun 1960-an, Ojong sering ngobrol dengan Jakob. Keduanya cukup cocok. Sama-sama pemimpin redaksi media, meskipun Ojong sudah “mantan” (karena Star Weekly sudah dibredel), sedangkan Jakob masih Pemimpin Redaksi Majalah Katolik Penabur. Mereka sama-sama aktif dalam gerakan asimilasi.

Salah satu kesempatan tukar pikiran itu terjadi di pelataran Candi Prambanan. Di sanalah timbul ide untuk menerbitkan sebuah majalah yang akan menerobos isolasi informasi yang sedang dialami rakyat Indonesia masa itu. Di samping itu, dengan dibredelnya Star Weekly, ada kebutuhan di pihak Keng Po (kemudian menjadi Penerbit PT Kinta) untuk menerbitkan “pengganti”. Mereka sepakat untuk menerbitkan Intisari.

Untuk memberikan apa yang belum ada, isi Intisari lebih mudah dijelaskan dengan pendekatan negasi, karena tujuannya memberikan apa yang belum tersedia saat itu: bukan renungan, bukan ulasan yang abstrak dan bukan isu-isu politik. Singkatnya, isi Intisari mencakup perikehidupan manusia yang nyata dan konkret.

Konsep jadi, manajemen pun disiapkan. Seperti kebiasaan Ojong, semua dipikirkan dan dipersiapkannya dengan matang. Sebagai sebuah organisasi penerbitan, Intisari didukung PT Kinta. Ruang kantor redaksi, tenaga administrasi, tenaga sirkulasi, dan jasa percetakan disediakan oleh mereka. Tenaga marketing untuk iklan agaknya juga belum diadakan secara khusus.

Dibentuk juga Yayasan Intisari sebagai lembaga yang menerbitkan majalah ini. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) harus diminta kepada Komando Daerah Militer di Jln. Perwira, Jakarta. Jakob maju sendiri, sementara Ojong menunggu di dalam mobil yang diparkir jauh-jauh. Sebagai a political outcast, ia memilih tinggal di belakang layar saja.

Maka demikianlah, tanpa buku putih, Intisari bergulir dari bulan ke bulan, tahun ke tahun, dengan mengandalkan intuisi dan interpretasi pengelola-pengelolanya. Apa dan bagaimana “perikehidupan yang nyata dan konkret” mengalami perubahan sesuai dengan peralihan generasi. Setelah lima puluh tahun, majalah kecil ini telah merekam berbagai peristiwa dunia, dan bagaimana manusia merespons tantangan dari masa ke masa.

(Bersambung)