Intisari-Online.com -17 Agustus 1963 – 17 Agustus 2013, 50 tahun, setengah abad. Itulah MajalahIntisari.Simak “perjalanan hidupnya”dalam rangkaian artikel “Majalah Kecil Yang Menerobos Dinding Waktu”.
1993
Memasuki dekade 1990-an, dengan aktifnya Rudi Badil, wartawan senior Kompas, di tim redaksi, mekanisme dan manajemen kerja tim redaksi semakin terbentuk. Penggarapan liputan diperbanyak, kerja tim semakin dilakukan, dan perencanaan semakin baik. Pada edisi Agustus 1993 di sampulnya berjajar tiga coverline: Surat Bung Hatta tentang Proklamasi, Wabah Penculikan Bocah di Cina dan “Kegilaan” seorang kameraman. Di bagian atas “50 Cara Menangkal Stress” .
Jumlah halaman lebih tebal dari biasa, 200 halaman, karena ada liputan khusus yang bersponsor tentang perusahan-perusahaan yang dua pertiganya sudah menggunakan kertas berwarna. Malah ada delapan halaman terdepan menggunakan kertas Art Paper.
Disitulah artikel tentang Widayanto, “Jejak Seni & Komoditi Si Perupa Tembikar”. Kemudian kisah pendakian Puncak Carstensz di Irian Jaya oleh tim pendaki Mapala UI. Di tahun 1990 an masyarakat Indonesia mulai bangkit minatnya pada nilai gizi pada makanan. HUT ke-30 itu dimeriahkan dengan Lomba Cipta Iklan Intisari yang mendapatkan respons lumayan heboh. Ada 1.551 buah karya yang masuk. Tak berhenti di situ, ada juga lomba “banyak-banyakan” koleksi Intisari.
Slamet Soeseno masih menulis sebagai Pembantu Khusus sampai tahun 2000, ketika ia mendapatkan serangan jantung di meja kerjanya dan berpulang pada 22 Januari 2001. Tulisan terakhirnya dimuat pada bulan Februari 2001, “Para Lutung Yang Kedodoran”.
Tahun 1997, menyusul kematian Diana dalam kecelakaan di Paris, Intisari menurunkan buku biografi tentang selebriti dunia yang menyebut dirinya “The Queen of Hearts”. Maklum saja, berita tentang Diana pada masa itu adalah “berita wajib” di koran dan majalah seantero dunia.
2003
Intisari edisi 2003 memajang tiga tokoh: Rhenald Kasali Ph.D, Yohanes Surya Ph.D, dan dr. Sonia Grania Wibisono, mewakili sosok cerdas, sehat dan bersahabat, yang menjadi tagline Intisari. Onno W. Purbo menulis tentang “Cara Murah Berinternet”. Yohanes Surya dalam profil dengan bersemangat mencanangkan cita-citanya mencetak seorang peraih Nobel dari Indonesia pada tahun 2020. Sampai hari ini, ia masih setia dan fokus mengejar target tersebut.
Bicara soal ketokohan, pada edisi itu untuk pertama kalinya Deddy Corbuzier mengawali rubrik baru berjudul Zona Mind-Games. Walaupun rubrik yang menarik itu hanya bertahan sekitar satu tahun, dari Agustus 2003 – Nov 2004, karier Deddy Corbuzier terus menanjak. Hari ini ia tidak hanya dikenal sebagai pesulap dan ilusionis, tetapi juga presenter acara TV yang populer.
Butet Kertarajasa, seniman dan budayawan, mengatakan Intisari adalah bacaan pencerahan, Helmy Yahya, produser dan pembawa acara di televisi, mengakui kredibilitas Intisari sebagai referensi. Ade Rai, atlet binaragawan, melihat Intisari isinya tidak sama dengan yang lain-lain. Tidak ikut-ikutan, selalu dapat melihat dari angle berbeda. Padat dan berbobot.
Ayu Utami, novelis dan sasterawati, mengamati ada yang hilang dalam majalah-majalah lain, yang masih dihadirkan oleh Intisari: pembicaraan tanpa pretensi tentang beragam perkara. Baginya, Intisari adalah teman ngobrol yang bermutu.
(Bersambung)