Mogok Nasional dan Kisah Jenderal di KA

Lily Wibisono

Editor

Mogok Nasional dan Kisah Jenderal di KA
Mogok Nasional dan Kisah Jenderal di KA

Intisari-Online.com - Suatu malam, empat penumpang menempati dua deretan tempat duduk berhadapan di gerbong kereta api. Seorang gadis cantik dengan neneknya, dan jendral bersama perwira muda, ajudannya.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba aliran listrik mati. Dalam gelap pekat, terdengar suara ciuman yang hot betul, disusul bunyi tamparan keras! Seketika kemudian, lampu menyala kembali. Apa yang terjadi?

Wajah si gadis tampak merona merah. Ia menunduk malu. Pikirnya, “Beraninya perwira muda itu mencium! Untung ada Nenek yang menamparnya.” Wajah si nenek geram bukan main. Kedua tangannya masih terkepal. Ia berpikir, “Dasar jenderal tua bangka bejat. Untung cucuku gesit menamparnya.”

Urat-urat leher Sang Jenderal tampak berdenyut-denyut. Marah bukan main. Selama ini ia sudah berupaya mengajar ajudannya bersikap hormat dan disiplin. “Gila, mencuri cium gadis dalam gelap! Akibatnya anak itu telah salah tampar kepadaku.”

Sebaliknya, senyum lebar menghiasi wajah si perwira muda. Belum pernah ia merasa seberuntung itu: berhasil mencuri kesempatan mencium gadis cantik sekaligus menampar bosnya! (dari “The Power Of Stories In Communication & Management” oleh Terrance Gargiulo).

Selain perwira muda, ketiga orang yang lain tidak menangkap secara benar apa yang terjadi. Di dalam gelap, suara yang terdengar dipahami secara berbeda-beda. Tak bedanya ketika kita berkomunikasi. Padahal, kemampuan berkomunikasi adalah prasyarat mahapenting ketika orang merekrut karyawan baru.

Bayangkanlah kegiatan Anda sepanjang hari, pasti selalu melibatkan komunikasi, entah lewat gadget, email, telepon, berbicara tatap muka, dst. Penelitian oleh Appleby, 2000; Johanson & Fried, 2002; Yancey, 2001 memberikan kesimpulan senada: kemampuan interpersonal paling penting bagi pencari kerja. Dan kemampuan “mendengarkan” termasuk kemampuan interpersonal yang penting.

Hari-hari ini kita dikepung oleh berita mogok nasional oleh para buruh. Antaranews. com (28/10/2013) mengabarkan, mereka menyuarakan beberapa tuntutan a.l. seperti kenaikan upah minimum tahun 2014 menjadi Rp3,7 juta per bulan, pencabutan Instruksi Presiden No. 9 tahun 2013, dan penghapusan sistem alihdaya. Sementara pihak pemberi kerja jauh-jauh hari sudah menyatakan tak sanggup memenuhi tuntutan mereka.

Peristiwa pemogokan mencerminkan buntunya komunikasi. Sudah tertutup bagi bahasa “damai”. Maka terjadilah pemogokan kerja oleh Serikat Staf Akademik Universitas di Nigeria, yang sudah berjalan selama empat bulan (Koran Leadership 28/10/2013). Ribuan sekolah di seluruh Inggris, awal bulan ini juga terlibat pemogokan besar-besaran. (BBC News, 7/10/2013).

Sungguh ironis, di saat kehidupan manusia semakin terkooptasi oleh gadget komunikasi serba smart dan canggih, pemogokan malah marak. Mungkinkah karena kita terlalu sibuk sehingga tak sempat lagi mendengarkan? Mendengarkan itu tak cukup dilakukan hanya dengan telinga. Ia membutuhkan segenap indera dan hati. Karena sesama manusia jauh lebih kompleks dan berharga ketimbang gadget atau robot canggih sekalipun.