Intisari-Online.comKamis, 14 November 2013, Mahkamah Konstitusi kembali digurat noda hitam. Kali ini gedungnya, bangunannya, ruang sidangnya rusak porak-poranda. Sekelompok orang yang tidak puas atas putusan sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) kepala daerah dan wakil kepala daerah Provinsi Maluku, marah-marah dan merusak ruangan serta barang-barang.Pelampiasan kemarahan berlangsungbebas dan lancar di depan sejumlah petugas polisi dan anggota keamanan mahkamah yang tak bertindak.Mengherankan?Rasanya kok tidak. Bagi mereka, para pemrotes yang marah-marah dan anarkis itu, ngamuk di ruang sidang MK tak beda dengan ngamuk di depan kantor kelurahan, atau di halaman kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah dalam banyak Pemilukada, di depan pabrik, juga di kantor bupati sampai membakar pendopo kabupaten seperti terjadi di Tuban (April 2006). Kemarahan seketika dilampiaskan dengan merusak. Sungguh perilaku yang belakangan dianggap biasa. Bahkan amat biasa.Para pelakumemang keterlaluan. Tapi lebih keterlaluan lagi adalah kenyataan bahwa tindakan itu tidak dihukum. Setidak-tidaknya masyarakat diberitahu bahwa ada pelaku yang dihukum.Ketua PMI yang Wakil Presiden RI 2004-2009 Jusuf Kalla, dalam perbincangandi kantornya pada penghujung Oktober lalu, menjelaskan, situasi kini seperti hukum rimba. Orang boleh melampiaskan kemarahan dengan cara merusak, mengamuk, bahkan membunuh - dan tidak ditindak. Tak perlu analisa panjang-panjang untuk menyimpulkan kondisi ini dengan dua kata: pemerintah lemah.Maka Mahkamah Konstitusi, lantaran kelemahannya sendiri, tidak lagi dianggap "malaikat penjaga" undang-undang. Ia sama dengan lembaga negara lain yang bisa diprotes, bisa didemo, bisa dirusak.Mahkamah itu rusak, nyaris bubrah.Untuk memperbaikinya tidak bisa hanya dengan kampanye membangun citra sambil cepat-cepat memilih pimpinan baru dan disiarkan oleh televisi, janji-janji pimpinannya untuk berlaku bersih dan adil, atau bersikeras membentuk dewan etik sendiri dengan enggan menerima Perppu Presiden.Bagi orang banyak, pesan-pesan itu tidak "bunyi", tidak mudah untuk dipahami. Apalagi untuk disetujui. Ada aspek yang lebihluas yang perlu dibenahi, yakni kehidupan bernegara itu sendiri. Siapa yang bertanggung jawab membenahi? Ya, para penyelenggara itu. Siapa lagi?