Intisari-Online.com - Ada jejak Hakim Artidjo Alkotsar dalam vonis penjara 10 bulan kepada dr. Dewa Ayu Sasiary Prawarni, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian pada 25 November 2013.Vonis majelis kasasi Mahkamah Agung, yang terdiri atas hakim Artidjo, Dudu Duswara Machmudin, dan Sofyan Sitompul itulah yang dianggap sebagai kriminalisasi para dokter di atas, yang kemudian memunculkan protes berbuntut pemogokan besar para dokter ahli kandungan di sejumlah kota pada 27November.Banyak yang setuju pada pemogokan itu dan menganggap hukuman pengadilan umum kepada dokter adalah bentuk kriminalisasi para dokter, karena profesi itu memiliki dewan etiknya sendiri. Tapi banyak pula yang mengecam dengan mengatakan pemogokan dokter adalah pengingkaran dari nilai pengabdian profesi itu.Yang pasti, majelis hakim kasasi bergeming. Keputusan sudah tetap. Ketiga dokter itu dianggap bertanggung jawab atas kematian pasien Siska Makatey pascaoperasi caesar di RSU dr. Kandou Manado, 10 April 2010.Kalau kita berada di pihak para dokter yang melindungi kemandirian profesi, mungkin saja setuju dengan aksi protes itu. Tapi ketika kita berada di pihak keluarga korban, vonis penjara 10 bulan pun barangkali masih kurang.Ya, kadang kita memang harus melihat dengan jernih sebuah keputusan hukum. Keadilan adalah sebuah kata sakral meski kenyataan acapkali tidak sesuai.Ketidaksesuaian dengan kenyataan itu yang selama ini terjadi, membuahkan sikap apatis bahkan antipati terhadap insititusi penegakan hukum maupun para person penegaknya.Tapi mata ini dibuat terbelalak ketika melihat ketua majelis yang sama, Dr. Artidjo Alkotsar, empat hari sebelumnya (21 November 2013) melipatkan hukuman kepada Angelina Sondakh hingga empat kali, dari 4,5 tahun menjadi 20 tahun penjara, serta hukuman uang senilai hampir Rp40 miliar.Perkara korupsi, yang pada peradilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi sering berbuah hukuman ringan, pada tingkat kasasi menabrak roda perkasa yang menggilas tanpa ampun."Alangkah malangnya republik ini jika penegak hukum kalah pintar dari koruptor," kata Artidjo seperti dikutip www.hukumonline.com.Ternyata kekuatan Hakim Artidjo dkk. juga diwujudkan dalam penggandaan vonis terdakwa perkara narkoba di Surabaya, Ananta Lianggara, dari satu tahun di tingkat pertama dan di Pengadilan Tinggi Jawa Timur, menjadi 20 tahun penjara di Mahkamah Agung.Korupsi dan narkoba sama-sama kejahatan luar biasa. Dampak yang diakibatkan bisa tetap terjadi dalam belasan, bahkan puluhan tahun mendatang. Kerugian yang diderita tidak hanya membebani negara dan masyarakat sekarang ini, tapi juga generasi nanti.Hakim Artidjo, kelahiran Situbondo, Jawa Timur, 22 Mei 1948, diberi nama belakang oleh orangtuanya Alkotsar. Tentu ini pelafalan sederhana dari "Al-Kausar" atau "Al-Kautsar", surah kedelapan dalam Al Quran yang artinya "Nikmat yang Banyak".Artidjo bukan hanya simbol dari nikmat yang banyak limpahan dari Yang Mahakuasa kepada keluarga dan dirinya. Tapi karya hidupnya ternyata juga memberi rasa nikmat yang banyak bagi masyarakat.Nikmat yang timbul dari rasa keadilan yang didapatkan, dari rasa geram yang telampiaskan, bahkan terwakilinya kebencian kepada para pelaku kejahatan luar biasa.Kalau saja semua penegak hukum bekerja secara benar, semua hakim menjatuhkan putusan berdasarkan keadilan, masyarakat pasti akan senang. Hidup terasa lebih tenang, anugerah bisa kita kecap dengan lebih nikmat. Bangsa ini niscaya akan sangat beradab.Kita tentu berharap akan muncul Artidjo-artidjo lain. Republik ini masih berharap munculnya para "Pemberi nikmat yang banyak" seperti Artidjo.