Intisari-Online.com – Salam sejahtera.
Saya seorang ibu beranak 3, beragama Kristen Protestan. Suami saya telah meninggalkan saya sejak 2008 yang lalu tanpa ada pemberitahuan apapun sejak kepergiannya, bahkan selama kepergiannya saya tidak pernah mengetahui dimana keberadaannya karena dia tidak pernah memberikan kabar apapun.
Oleh karena itu, selama kepergiannya saya membesarkan sendiri ketiga anak saya tanpa ada nafkah apapun dari suami. Kemudian pada awal tahun 2013 yang lalu, suami saya kembali lagi ke rumah untuk kembali tinggal bersama kami, namun saya tidak mau menerima dia karena dia sudah saya anggap tidak ada lagi dan sebagai laki-laki yang tidak bertanggung jawab.
Apakah saya dapat menceraikan suami saya dengan alasan di atas? Lalu, kepada siapakah hak asuh atas anak akan diberikan setelah kami bercerai?
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Berhubung Anda beragama Kristen Protestan (non-Islam), maka permasalahan Anda akan kami analisis menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan), karena berdasarkan hukum perkawinan Indonesia, perkawinan memilik 2 aturan pokok, yaitu UU Perkawinan bagi yang beragama non-Islam, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi yang beragama Islam.
Atas permasalahan yang Anda alami, kami sama sekali tidak menganjurkan Anda untuk bercerai karena pada hakekatnya perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkn ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 UU Perkawinan.
Berdasarkan pasal tersebut, jelas bahwa perkawinan adalah suatu ikatan yang kekal, yang artinya tidak pernah/tidak boleh terjadi perpisahan antara pihak yang mengikatkan diri dalam perikatan tersebut, kecuali salah satu pihak ada yang meninggal dunia. Namun demikian, pada kesempatan kali ini kami akan memberikan penjelasan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.
Secara hukum tetap terbuka peluang bagi seorang non-Islam untuk bercerai. Hal tersebut diakomodir di dalam Bab VIII UU Perkawinan dan Bab V Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Perkawinan (PP Perkawinan). Terkait permasalahan Anda, mari kita melihat ketentuan dalam Pasal 19 huruf b PP Perkawinan. Pasal tersebut menyatakan:
“Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
Gugatan tersebut dapat Anda kirimkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang masuk ke dalam wilayah hukum dimana suami Anda tinggal (domisili sesuai KTP terakhir).
Selanjutnya, apabila Majelis Hakim Pengadilan Negeri yang memeriksa dan mengadili gugatan cerai Anda sudah menjatuhi putusan yang mengesahkan perceraian Anda dan putusan tersebut telah berkekutan hukum tetap, maka Anda dapat mengajukan gugatan hak asuh anak Anda dalam satu gugatan yang baru jika Anda menginginkan hak asuh anak jatuh ke tangan Anda.
Gugatan hak asuh dibuat terpisah dengan gugatan perceraian karena untuk memiliki hak asuh anak harus terjadi perceraian yang diputus oleh Pengadilan terlebih dahulu, baru kemudian hak asuh dapat diajukan kepada Pengadilan.
Demikian penjelasan kami, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Terimakasih.
Sumber: