Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
Seketika itu juga, terbuka harta warisan tersebut bagi orang-orang yang berhak, yaitu Ahli Waris, yang dianyatakan dalam Pasal 171 huruf c KHI sebagai berikut:
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka ahli waris dari Ibu kandung saudara adalah Ayah saudara berserta anak-anaknya.
Apabila kemudian Ayah saudara menikah dengan orang lain (Ibu tiri), tidak memberikan hak apapun bagi Ibu tiri untuk menjual segala macam benda yang merupakan harta peninggalan Pewaris, karena dia tidak termasuk sebagai ahli waris.
Jadi, apabila harta yang dijual itu adalah harta yang telah ada sebelum Ayah saudara menikah dengan Ibu tiri saudara, maka harta tersebut dapat diasumsikan sebagai harta peninggalan Pewaris.
Oleh karena Ibu tiri saudara tidak memiliki hak atas harta tersebut, maka saudara dan ahli waris lainnya berhak menuntut kembali aset-aset tersebut.
Permasalahannya sekarang adalah secara hukum suami isteri dilarang menjual atau memindahkan harta yang ada selama perkawinan tanpa persetujuan dari salah satu pihak. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 92 KHI, yang isinya:
“Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama”
Walaupun apa yang dijual oleh ibu tiri saudara bukanlah harta bersamanya dengan Ayah saudara, namun esensinya adalah sama, yaitu penjualannya harus dengan persetujuan kedua belah pihak.
Jadi, besar kemungkinan bahwa dijualnya harta peninggalan Ibu kandung saudara telah disetujui Ayah saudara. Ayah saudara memang berhak untuk menjual harta peninggalan tersebut, tetapi besaran yang boleh dijual hanya sebatas bagian yang menjadi haknya.
Dengan demikian, apabila ternyata melebihi bagian yang menjadi haknya, maka Ayah saudara juga memiliki tanggung jawab hukum atas pengembalian aset tersebut.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR