Intisari-Online.com -
Assalamualaikum Wr. Wb.
Saya anak keempat dari 5 bersaudara. Ibu saya meninggal tahun 2003 silam, kemudian pada tahun 2006, Ayah saya menikah lagi.
Beberapa tahun kemudian Ibu tiri saya menjual aset seperti sawah dan tanah yang merupakan harta keluarga yang sudah ada sebelum dia menikah dengan Ayah saya.
Hasil penjualannya tanpa seperak pun dikasih kepada kami berlima. Sampai perhiasan peninggalan pun raib entah kemana.
Apakah saya berhak untuk menuntut kembali aset yang telah dijual oleh beliau dari awal beliau menikah?
Mohon bantuan solusinya, terima kasih.
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan saudara.
Dari pertanyaan saudara, kami asumsikan saudara beragama Islam. Maka dari itu kami akan menggunakan Kompilasi Hukum Islam sebagai dasar hukum dalam pembahasan di bawah ini.
Pada prinsipnya suatu harta warisan timbul dikarenakan meninggalnya seseorang, yaitu Pewaris. Sebagaimana diatur dalam Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan:
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
Seketika itu juga, terbuka harta warisan tersebut bagi orang-orang yang berhak, yaitu Ahli Waris, yang dianyatakan dalam Pasal 171 huruf c KHI sebagai berikut:
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka ahli waris dari Ibu kandung saudara adalah Ayah saudara berserta anak-anaknya.
Apabila kemudian Ayah saudara menikah dengan orang lain (Ibu tiri), tidak memberikan hak apapun bagi Ibu tiri untuk menjual segala macam benda yang merupakan harta peninggalan Pewaris, karena dia tidak termasuk sebagai ahli waris.
Jadi, apabila harta yang dijual itu adalah harta yang telah ada sebelum Ayah saudara menikah dengan Ibu tiri saudara, maka harta tersebut dapat diasumsikan sebagai harta peninggalan Pewaris.
Oleh karena Ibu tiri saudara tidak memiliki hak atas harta tersebut, maka saudara dan ahli waris lainnya berhak menuntut kembali aset-aset tersebut.
Permasalahannya sekarang adalah secara hukum suami isteri dilarang menjual atau memindahkan harta yang ada selama perkawinan tanpa persetujuan dari salah satu pihak. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 92 KHI, yang isinya:
“Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama”
Walaupun apa yang dijual oleh ibu tiri saudara bukanlah harta bersamanya dengan Ayah saudara, namun esensinya adalah sama, yaitu penjualannya harus dengan persetujuan kedua belah pihak.
Jadi, besar kemungkinan bahwa dijualnya harta peninggalan Ibu kandung saudara telah disetujui Ayah saudara. Ayah saudara memang berhak untuk menjual harta peninggalan tersebut, tetapi besaran yang boleh dijual hanya sebatas bagian yang menjadi haknya.
Dengan demikian, apabila ternyata melebihi bagian yang menjadi haknya, maka Ayah saudara juga memiliki tanggung jawab hukum atas pengembalian aset tersebut.
Langkah pertama untuk mengembalikannya adalah dengan meminta secara langsung kepada yang bersangkutan.
Apabila cara kekeluargaan tersebut tidak berhasil, saudara dapat menempuh jalur hukum melalui gugatan waris kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal saudara.
Sebelum mengajukan gugatan tersebut, para ahli waris sebaiknya telah memiliki penetapan ahli waris. Penetapan tersebut dapat saudara peroleh dari Kepala Kelurahan di daerah tempat tinggal saudara. Atau, dalam hal terjadi sengketa, penetapan ahli waris dapat diajukan permohonannya melalui pengadilan.
Penetapan tersebut akan menjadi dasar yang kuat untuk mengajukan gugatan, termasuk juga dasar bagi hakim untuk menentukan bagian masing-masing ahli waris.
Dalam gugatan tersebut dapat juga dimintakan agar segala macam jual beli yang dilakukan oleh Ibu tiri dinyatakan batal demi hukum. Dengan dinyatakannya jual beli tersebut batal demi hukum, maka jual beli tersebut menjadi tidak sah dan harus dikembalikan kondisinya seperti sebelum terjadinya jual beli.
Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1471 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yang menyatakan:
“jual-beli barang orang lain adalah batal, dan dapat memberikan dasar untuk penggantian biaya kerugian dan bunga, jika si pembeli tidak telah mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain”
Berdasarkan pasal tersebut, jual beli yang telah terjadi menjadi batal, dan harus dilakukan pengembalian uang dan barang oleh masing-masing pihak.
Namun apabila aset-aset tersebut telah terjual dan terlalu sulit untuk dikembalikan seperti semula, dalam gugatan tersebut saudara dapat juga memintakan ganti rugi atas aset tersebut dalam bentuk lain dengan nilai yang setara.
Selain itu, tindakan Ibu tiri saudara yang mengalihkan barang yang bukan miliknya dan menguasai hasil penjualannya dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana Penggelapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan:
“barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana dendan paling banyak sembilan ratus rupiah”
Namun, sebelum saudara membawa perkara tersebut ke dalam ranah Pidana, harus terlebih dahulu dibuktikan bahwa saudara dan para ahli warisnya adalah ahli waris yang sah atas harta peninggalan pewaris.
Maka dari itu, saudara harus menunggu perkara gugatan waris tersebut diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Selain itu, Ayah saudara sebagai pihak yang turut memberikan persetujuan atas dijualnya harta warisan juga memiliki tanggung jawab hukum terhadap berpindahtangannya harta warisan tersebut.
Sehingga, apabila penggelapan terbukti, maka tidak tertutup kemungkinan Ayah saudara juga akan dikenakan sanksi pidana.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum :