Intisari-Online.com - Dulu, semasa kecil, hampir setiap pagi keluarga saya mengonsumsi gulai. Alasannya sederhana saja. Ada tetangga yang menjadi penjual gulai di pasar kampung kami. Sebelum dijajakan ke pasar, kami mencegatnya di rumah penjual. Namun, kini tetangga saya tak berjualan lagi. Pasar tempat jualan sudah berpindah. Kepopuleran gulai pun menurun.
Hampir susah sekarang ini menemukan menu gulai di beberapa lokasi. Terlebih di warung makan modern. Gulai sudah identik dengan menu tradisional. Gulai yang merupakan masakan asli Indonesia dengan cita rasa lezat dan kaya kandungan gisi ini mulai terpinggirkan dan tergeser oleh serbuan kuliner impor.
“Ada yang salah dalam kebudayaan kita bahkan termasuk di bidang kuliner. Kita lebih mengagumi segala hal yang berbau impor, dan kurang menghargai budaya sendiri,” kata Ketua Indonesia Chef Association (ICA) I Made Witara dalam Festival Gulai Salero Nusantara yang digelar di Monumen Serangan Oemoem (SO) 1 Maret, di Yogyakarta, beberapa waktu silam.
Padahal, sesungguhnya gulai hampir mirip dengan masakan kari yang asli India. Namun karena India memiliki kebanggaan pada kulinernya tersebut dan mau mempromosikannya, maka kari lebih dikenal oleh masyarakat internasional daripada gulai.
“Padahal, gulai sebenarnya lebih lezat daripada kari karena kari tidak memiliki bumbu rempah-rempah selengkap gulai, varian gulai pun juga lebih beragam," tuturnya.
Di Jakarta, jika kangen dengan gulai ini sekarang bermunculan penjaja gulai murah meriah di seputaran Blok M. Dikenal dengan istilah gultik atau gulai tikungan karena berjualan di tikungan. Sebagai pengobat rasa rindu akan rasa gulai serta sebagai menu sarapan cukuplah.