Intisari-Online.com - Restoran Boyong Kalegan mungkin bisa jadi pilihan pas jika Anda dan keluarga ingin liburan sambil makan enak. Lokasinya persis di kaki Gunung Merapi yang berhawa sejuk. Makanannya pun bisa diandalkan. Mau?
Restoran ini berdiri awal Juli 2000. Namanya diambil dari bahasa Jawa. Boyong artinya pulang. Kalegan artinya lega, puas. Menempati lahan kurang lebih satu hektar, restoran ini bisa menampung sekitar 500-an orang. Ada tempat pertemuan yang bisa menampung 150-an orang. Cocok buat perayaan ulang tahun, reuni, arisan, atau acara keluarga.
Tempat makannya berupa bangunan panggung, mirip dangau. Gubuk-gubuk panggung ini terbuat dari bambu petung dengan atap anyaman daun ilalang. Dangau dibangun di atas kolam yang airnya berasal dari Sungai Boyong, sungai terdekat.
Sambil menunggu pesanan datang, kita bisa menikmati pemandangan ikan-ikan yang berenang di bawah dangau. Restoran ini memang sengaja dikonsep untuk acara liburan keluarga. Sebagian besar pengunjung datang ke sini secara rombongan.
Menu utama restoran ini ikan air tawar, seperti gurami, lele, udang, wader, mas, dan bawal. Salah satu menu favorit di sini adalah gurami bakar dan goreng. Porsi tiap menu tergolong besar. Satu ekor gurami bobotnya sekitar 9 ons. Cukup besar tapi tidak terlalu besar.
"Kalau terlalu besar, dagingnya kurang enak," kata Mudjiono, asisten manajer Boyong Kalegan.
Daging guraminya mungkin tidak beda jauh dengan gurami kebanyakan. Yang membuat hidangan ini istimewa adalah sambal terasinya. Tidak terlalu pedas sehingga enak dicocol sampai habis. Gurih dan aroma terasinya terasa mantap.
Selain dibakar dan digoreng, gurami juga disate atau dibumbui asam manis. Proses memasak sate gurami sama dengan sate biasa. Daging gurami dipotong kotak-kotak lalu ditusuk dengan bilah bambu, lantas dibakar dengan bumbu sate. Praktis, tinggal gigit saja, tak usah memisahkan durinya. Rasanya gabungan antara gurami bakar dan bumbu sate.
Nasi disajikan dalam keadaan masih hangat mengepul di dalam bakul. Rasanya semakin lengkap karena makanan ini dinikmati sambil lesehan di atas tikar pandan dengan ditemani semilir angin sejuk lereng Merapi. Apalagi jika ditambah dengan es kelapa muda. Segarnya komplet.
Pakde, panggilan akrab Mudjiono, mengatakan restoran ini memang bukan hanya menjual makanan, tapi juga suasana. "Tempat ini bukan murni restoran. Di restoran, pengunjung biasanya langsung pulang setelah makan. Di sini tidak," ujarnya. Pengunjung masih boleh leyeh-leyeh, tiduran santai di dangau.
Makanya, meski pengunjung sudah selesai makan, meja tidak langsung dibersihkan oleh pelayan. Bukannya jorok, ini memang sengaja dilakukan untuk memberi kesempatan pengunjung bersantai dulu.
"Kalau langsung dibersihkan, nanti disangka kita mengusir secara halus," kata Pakde.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR