Kris Biantoro: Pasrah Kepada Dokter

Agus Surono

Editor

Kris Biantoro: Pasrah Kepada Dokter
Kris Biantoro: Pasrah Kepada Dokter

Setelah gagal memperoleh ginjal cangkokan dari Cina, Kris akhirnya kembali ke Indonesia. Dilihat dari luar ia memang seperti sehat.Bahkan sepulang dari Guang Zhou saya langsung mendapat tugas dari Hankam untuk membuat film tentang Palagan Ambarawa.Akan tetapi saya tetap kembali kepada dokter Tunggul, periksa, dan mendapati angka kreatinin saya melambung jadi 11!

Seorang ibu datang dan dengan percaya diri mengatakan, "Mas Kris harus saya tolong. Saya punya metode pengobatan baru dengan Nano Technology. Lima kali treatment pasti sembuh."

Ia mengeluarkan rokok yang katanya bukan tembakau biasa. Dinyalakannya dua batang sekaligus, kemudian, melalui sedotan minuman, asapnya dimasukkan ke mulut dan lubang hidung saya. Saya heran, kok ya mau-maunya saya. Sampai malam, ia memaksa esoknya saya harus melanjutkan treatment di klinik dia di Jakarta Timur. Saya melirik istri saya karena tahu, ini menyangkut biaya. Bertahun-tahun ia yang pontang-panting mencarikan biaya buat sakit ginjal saya. Dia mengangguk pelan.

Esoknya, di kliniknya, saya dimasukkan ke dalam ruang VIP berukuran 3 x 2 m termasuk toilet. Saya disuruh buka baju hingga menyisakan celana dalam dan dibaringkan di ranjang beralas tembaga yang mengingatkan saya pada bau kematian. Saya disuruh tengkurap dan oleh dua asisten si ibu badan saya disirami air dingin dan panas bergantian. Air guyuran ditampung, katanya untuk pengobatan pasien berikutnya. Sebagian diserap dengan kain kasa dan diperaskan ke mulut saya. Whuek! Benar-benar nano technology. Istri saya keluar ruangan karena tak tega.

Kemudian si ibu datang dan menyalakan rokok. Saya disuruh nungging. Lewat sedotan plastik, asapnya diembuskan ke lubang tempat sodomi. Belum selesai, saya disuruh berbaring dan penis saya dipasangi kondom. Kondom dilubangi dan dipasangi pipet. Semua lubang tubuh saya ditiupi asap rokok, termasuk kondom itu.

Lantas ibu itu, ditemani dua asisten laki-laki, menari-nari seperti orang dari sekte kuno. Setelah itu, plak! Pipi saya ditampar. Plak! Dug! Gantian badan saya. "Supaya setannya pergi!" kata ibu yang ngakunya lulusan S3 di Amerika itu.

Episode kekonyolan saya terus berlanjut. Kali ini datang tawaran bantuan pengobatan dari keluarga almarhum Halim. Saya diantar ke sebuah rumah di suatu perumahan di Pancoran, Jakarta Selatan. Beberapa pasien duduk di ruangan gelap. Seorang pria berkulit gelap dari Indonesia timur menyapa, mengatakan bahwa kesembuhan tergantung iman kita. Oo, rupanya dia si tokoh.

Untuk mengobati ginjal saya harus dilakukan bertahap. Mulai dari pankreas. Obatnya, nah ini dia, minyak bulus racikan pria itu yang harganya Rp 350.000/botol. Karena kondisi ginjal saya parah, diperlukan 39 botol yang diambil setiap hari tidak boleh lewat dari enam jam setelah digiling. Ramuannya terdiri atas minyak bulus dicampur daun-daunan yang saya tidak tahu dan semula berserakan di lantai. Rasanya tak terbayangkan. Saya harus menutup hidung sebelum menenggaknya. Tentu, atas saran sang paranormal, saya berdoa dulu. Karena harus sering ke sana, saya sempat bertemu beberapa orang dari kalangan perfilman. Juga ada ibu-ibu yang katanya sakit kanker.

Setelah habis 39 botol, apa yang terjadi? Kreatinin saya meningkat jadi 14,5. Belakangan saya tahu, minyak ekstrak kura-kura itu digunakan untuk obat luar, antara lain untuk mengobati borok dan luka bakar, bukan untuk diminum. "Oalah Kris, Kris ... kok tidak habis-habis kegoblokanmu," kata saya dalam hati.

Dengan kreatinin yang tidak masuk akal tingginya, dokter menyarankan saya untuk menjalani hemodialisis, cuci darah. Saya pun ikut. Tiga kali seminggu, dan setiap kali prosesnya lima jam meski praktiknya berlangsung seharian. Menyadari betapa beratnya jarak yang setiap kali harus saya tempuh, juga rasa kasihan kepada istri, saya merayu dr. Tunggul agar mengizinkan saya seminggu sekali saja. Tapi permintaan itu tidak dikabulkan lantaran darah saya sudah teramat keruhnya. Minimal dua kali.Saya ngotot dan pihak rumah sakit tak bisa apa-apa. Rupanya, kengototan saya berbuah petaka. Saya beberapa kali terjatuh karena blackout, bahkan dibawa ke RS Medistra untuk menjalani pemeriksaan kepala pun saya tak tahu.

Begitulah, setelah 37 tahun berkeras hati mencari cara lain untuk mengobati ginjal saya yang soak, akhirnya saya pasrah sepenuhnya kepada penanganan dokter. Dalam beberapa bulan, rutinitas hemodialisis tiga kali seminggu ternyata bisa berkurang menjadi dua kali. Pun tak lagi ke RS PGI Cikini yang jaraknya jauh, saya dirujuk ke RS Melia yang dekat dengan rumah saya di Cibubur.

Saya tak ingin orang lain yang kondisi ginjalnya sama sakitnya dengan saya, harus menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mencari upaya nonmedis yang akhirnya sia-sia.

Merdeka!(Selesai/Sumber: Intisari)