Celotehan Soleh Solihun

Andi Gunawan

Editor

Celotehan Soleh Solihun
Celotehan Soleh Solihun

Intisari-Online.com - Perawakannya tinggi dengan tubuh yang tak terlalu besar. Dibilang gondrong, tapi rambutnya hanya lebih panjang beberapa senti dari daun telinganya. Kacamata tak menolongnya untuk diakui sebagai pria berwibawa, kata yang belakangan ini sering ia sebut untuk mendeskripsikan dirinya. Dagunya dipenuhi brewok yang dibiarkan tumbuh meranggas. Bisa jadi karena mengikuti seorang Nabi, atau memang ia malas bercukur. Di hampir setiap kesempatan di tengah publik, Soleh Solihun tak pernah menanggalkan jaket kulitnya, seperti ulama tak pernah menanggalkan sorbannya. Pria berusia 33 tahun ini dikenal beberapa orang melalui panggung-panggung musik yang pernah ia pandu. Sebagian mengenalnya melalui karya-karya tulis jurnalistiknya di beberapa media, khususnya majalah musik. Tak sedikit yang mengenalnya berkat celotehannya di radio. Belakangan, ia lebih dikenal sebagai stand up comedian dan sekarang sebagai seorang penulis buku. Soleh, begitu ia biasa dipanggil, baru saja meluncurkan sebuah buku bertajuk Celoteh Soleh. Buku bersampul gambar wajahnya di hadapan sebuah mikrofon ini bukan buku religi. Tak ada teks menggurui bagaimana menjadi orang yang soleh. Meski di beberapa bagian dalam buku ini ia menyinggung persoalan Tuhan. Celoteh Soleh adalah buku ketiganya. Sebelumnya, ia sempat menulis sebuah buku memoir Michael Jackson, The King is Dead. Saat legenda pop dunia itu wafat, sebuah penerbit meminta Soleh membuat buku tentangnya. Ia cari referensi sebanyak-banyaknya, ia terjemahkan berbagai artikel asing, lalu disusunnya jadi sebuah buku. “Butuh uang,” kelakarnya saat ditanya soal buku pertamanya itu. Kelakar yang serius. Buku keduanya, Generasi Biru, berisi perjalanan grup musik Slank berdasar film besutan Garin Nugroho. Saat ini, ia sedang menyiapkan sebuah novel berlatar kehidupan seorang jurnalis, bakal calon buku keempatnya. Buku setebal 274 halaman ini merupakan kumpulan tulisan yang pernah ia tayangkan dalam blog-nya. Soleh mulai aktif menulis blog sekitar tujuh tahun lalu, tepatnya pada 31 Desember 2004, saat ia masih menjadi reporter Trax Magazine. Terkumpul 94 judul tulisan dari blog-nya yang disusun dalam lima bab di buku ini. Apa yang ditulisnya dalam blog tak melulu soal apa yang ia rasakan dan alami, tapi juga berisi opini (jika tak mau disebut pengamatan) berbagai hal. Mulai dari pertemuannya dengan dua bencong dalam mikrolet ("Satu Lekong Dua Bencong", 42), persoalan perutnya yang makin hari makin membuncit ("Laki-Laki dan Perutnya", 251), tentang perempuan dan hal-hal yang tak pernah selesai dipikirkan ("Woman is A Devil", 180), hingga kritik terhadap premanisme polisi ("Paksipapa Preman-Preman", 39) serta banyak hal tentang musik. Dengan pilihan kata yang terkesan remeh-temeh, Soleh mencatat banyak hal besar. Ia menulis hal-hal yang dipikirkan banyak orang dengan bumbu sudut pandang menarik seorang Soleh Solihun. Beberapa tulisan dalam buku ini akan meninggalkan sejumlah pikiran besar dalam kepala dan beberapa menghasilkan helaan napas cukup panjang setelah membacanya. Sejumlah judul sepertinya ditulis untuk dirinya sendiri, untuk seseorang, untuk siapa saja, bahkan bukan untuk siapa-siapa. Membaca buku ini berarti membaca pikiran yang hidup dalam diri seorang Soleh Solihun. Membaca perjalanan dan pengalaman sepanjang tujuh tahun. Bukankah pengalaman adalah guru terbaik?